Senin, 15 Desember 2014

I LOVE YOU










"Stive, tunggu aku!!"

"..."

"Stive! Jelaskan padaku kenapa kau mengabaikanku kayak gini!!"

"..."

"Stive!!!"

"Stive, tungg- aaa~"

"RANIIII!!!"
- Stive POV -

Salahku! Ini semua salahku! Ini semua salahku hingga dia begini. Salahku dia harus merasa dijauhi. Salahku dia harus kecapaian berlari mengejarku. Salahku dia harus terbaring. Bila hanya merasa dijauhi atau capai, itu tidak masalah. Tapi terbaring?

Aku Stive Anthony, siswa kelas 2-1, siswa yang selalu mendapat peringkat pertama, merupakan murid dengan Fans Club terbanyak di Veron High School, siswa yang sangat populer, dan merupakan satu dari lima murid terkaya di Veron High School.

Itu semua merupakan kelebihanku. Mereka bilang aku adalah manusia yang perfect, tidak mempunyai cela sedikitpun. Tapi mereka salah. Sesempurnanya manusia, pastinya mereka akan mempunyai cela, walaupun tidak nampak.

Dan inilah kelemahanku. Aku.. Paling.. Bodoh.. Dengan.. Cinta..

Lucu kan? Aku rasa tidak. Aku yang selalu dipuji dengan ucapan 'kau pintar sekali, Sasuke', ternyata lemah dengan cinta. Hingga dia datang ke dalam hidupku.

Dia, hanyalah gadis biasa. Dia, berasal dari kalangan keluarga sederhana. Dia, yang merubah kepribadianku luar dan dalam. Dialah kekasih pertamaku, Rani Rich.

Cukup sulit untukku untuk mendapatkan hatinya. Dia yang saat pertama masuk Veron High School ini sangat tergila-gila dengan pelajaran dan mengesampingkan masalah pribadi. Akupun mulai mendekatinya dan bersapa ringan. Hanya saling mengucapkan 'Hai' dan dia kembali berkutat dengan buku Rumus Matematika yang dia pinjam di perpustakaan. Keren bukan? Dan dihari berikutnya aku kembali menyusun rencana agar aku bisa satu kelompok Bahasa Inggris dengannya. Yang pada saat itu aku harus berjuang untuk memohon bantuan sahabatku, Ravael untuk menyusun semua rencananya, dan itu berhasil. Perlahan demi perlahan dia mau berbicara denganku dan pada akhirnya aku bisa akrab dengannya.

Hey, aku Stive Anthony bukan? Stive yang selalu mendapat perhatian penuh dari seluruh murid perempuan yang ada di Veron High School, kecuali dia. Stive yang dengan mudahnya bisa mendapat apa yang kumau, kecuali dia. Stive yang selalu dipuji ketampanan dan kepintarannya oleh semua orang, kecuali dia. Ya, semuanya kudapat kecuali dari dia.

Dan kini, setelah setahun aku bisa memikat hatinya dan menjadi pacar resminya, aku menyia-nyiakannya. Bodohnya aku!! Hanya demi memberinya kejutan dihari ulang tahunnya, aku sampai harus mengabaikannya. Tidak menegurnya selama satu hari penuh, itulah rencana yang dibuat Ravael dan teman Rani yang berambut kuning itu. Tidak menegurnya selama satu hari penuh? Tidak mendengar suaranya selama satu jam saja sudah membuatku rindu setengah mati. Apalagi satu hari penuh tidak berbicara padanya? Bisa gila aku ini.

"Stive Anthony, kau benar-benar ingin memberinya kejutan?" tanya sahabat Rani yang berambut kuning panjang ini sambil berkacak pinggang dihadapanku.

Aku hanya memalingkan mukaku. Dan dapat kurasakan perempuan ini tersenyum. "Baiklah, cukup mengabaikannya satu hari. Lalu datang kerumahnya nanti malam. Bawa kue ulang tahun dan kadomu dan semuanya akan berakhir romantis. Kau mengerti?"

Aku membelakkan mata. Gila!! Satu hari penuh tidak berbicara dengannya itu sama saja dengan membuatnya menangis dan merasa bersalah. "Tidak!!" ucapku tegas.

"Kenapa Stive?" tanya sahabatku yang paling berisik ini.

"Kau gila," aku berdiri membelakangi mereka berdua. "Rani akan sakit kalau dia kuperlakukan begitu."

"Stive," perempuan berambut kuning panjang ini kini berdiri dihadapanku. "Kau melakukan itu karena ingin memberinya kejutan. Jadi lakukan saja, Oke?"

Aku terdiam sejenak. Menimang-nimang keputusan yang mungkin akan memberatkanku ini. "Oke." jawabku pada akhirnya.

Dan sekarang? Apa yang terjadi? Karena aku benar-benar mengabaikannya dihari ini, dia sampai-sampai mengejarku kemanapun aku pergi. Hanya untuk bertanya 'Apa salahku?'. Jujur, pertanyaan itu sungguh menyakitkan. Ingin sekali kukatakan 'Kau tidak salah apa-apa, Rani.', tapi itu hanya akan menghancurkan rencanaku. Sampai saat jam sekolah usai, aku hanya berjalan tanpa menghiraukan Rani yang berlari mengejarku dibelakang.

"Stive, tunggu aku!!" panggil Rani sambil tetap mengikutiku.

"..." Aku? hanya diam.

"Stive! Jelaskan padaku kenapa kau mengabaikanku kayak gini!!" tanya Rani lagi.

"..."

"Stive!!!" dan panggilan itu masih tetap terdengar saat aku menyebrang jalan dipusat kota. Jalanan saat ini terlihat ramai. Mobil dan motor berlalu dengan kecepatan tinggi. Jujur, saat melihat mobil yang melintas, perasaanku jadi tidak enak.

"Stive, tunggu! Sti- aaa~"

CIITT!!! BRUKK!!!

"RANIIII!!!" pemandangan yang benar-benar tidak ingin kulihat. Rani yang saat itu berniat mengejarku kini tersungkur lemah dijalanan dengan luka disekijur tubuhnya. Aku lalu berlari menembus orang-orang yang tengah menegrubungi tubuh Rani.

"Rani!! Rani, bangun!!" aku terus mengguncang tubuh Rani.

"Rani!! Cepat panggilkan ambulans!! CEPAT!!!"

Dan beginilah sekarang. Aku duduk dikursi rumah sakit ini dan terus menyesali perbuatanku yang hampir membunuhnya. Dan Rani? Dia terbaring lemah tak berdaya diruang ICU. Dokter mengatakan bahwa Rani mengalami cidera dikepala dan tulang kakinya yang retak. Sungguh rasanya aku ingin mengulang waktu. Hanya karena rencana bodoh itu, orang yang sangat kusayangi kini terbaring lemah.

-End Stive POV-

"Stive...." Joe muncul dari balik tikungan lorong rumah sakit dan segera menghampiri adik semata wayangnya itu.

"Kakak." Stive hanya bisa memanggil Kakaknya lirih.

"Apa yang terjadi? Kenapa Rani bis-"

"Aku nggak tahu. Aku nggak tahu, Semuanya terjadi begitu cepat dan.. sekarang.." Stive berbicara dengan sangat kacau. Melihat adiknya yang terlihat menyedihkan itu, Joe hanya bisa memeluk Stive. Dan Stive tidak menolak pelukan dari Joe.

'Mungkin Stive benar-benar membutuhkan pelukan ini..' batin Joe.

Tit..Tit..Tit..

Suara monitor pendetak jantung Rani masih menunjukkan angka yang sama, belum membaik sedikitpun. Sudah dua hari Rani koma diruang ICU dan sejak dua hari itulah Stive dengan setianya menunggu Rani. Layaknya putri tidur, kecupan pun diberikan Stive. Dipipi maupun dikening Rani. Dibibir? Sampai sekarang pun Stive belum berani mengecup Rani dibibirnya, meskipun Rani tengah tidur sekalipun.

"Rani, kau harus bangun! Kau tahu betapa aku sangat merindukanmu." ujar Stive lirih sambil menggenggam tangan Rani yang dingin dan memucat.

"Rani, bertahanlah! Demi aku!" pinta Stive.

Tok..Tok..

"Stive, aku masuk!" ujar Ravael yang baru datang bersama dengan Marry. Ravael dan Marry berjalan hingga dia berada disisi kiri ranjang Rani, sedangkan Stive berada disisi kanan Rani.

"Stive, maaf! Gara-gara rencana bodoh kita, Rani-"

"Bukan!" ujar Stive menghentikan ucapan permintaan maaf Marry. "Ini bukan salah kalian. Ini semua salahku."

"Tapi Stive.."

"Jangan meminta maaf lagi! Jangan buatku semakin merasa bersalah! Jangan!!" ujar Stive lirih. Sedetik kemudian dia menenggelamkan wajahnya dibahu Rani.

Ravael dan Marry yang melihat itu tidak bisa berbuat apa-apa. Pada akhirnya mereka pergi setelah memberikan Stive bungkusan makanan yang sengaja dibeli Ravael untuk Stive, karena dia tahu Stive belum makan sejak pagi.

"Rani.."

"Hei Marry!" panggil Ravael. Marry menoleh dan melihat Ravael yang masih menatap langit.

"Apa?"

"Menurutmu Rani bisa sembuh?" tanya Ravael.

Mata Marry membelak, tidak percaya dengan apa yang ditanya Ravael. "Kau tidak boleh berkata seperti itu, Rav-. Rani pasti sembuh."

Ravael diam, lalu dia kembali bertanya. "Tapi kau ingat apa yang dikatakan Kak Joe? Kemungkinan Rani bisa sembuh itu 50:50. Dan walaupun Rani sembuh, dia pasti ca-"

"Nggak!!" Marry membantah. "Rani harus sembuh. Apapun dan bagaimanapun caranya."

"Meskipun dia cacat?" ujar Ravael yang sekarang sama emosinya dengan Marry. "Marry, aku lebih memilih Rani meninggal dengan bahagia daripada dia harus menderita karena cacatnya."

"Dan jika kau menginginkan begitu, kau akan melihat Stive stres." Marry mengambil nafas panjang sebelum dia melanjutkan ucapannya. "Kau tahu Stive sangat ingin melihat Rani membuka matanya lagi, iya kan? Kau tahu kenapa Stive sampai bersikeras tetap berada disamping Rani? Sampai dia harus berpuasa menahan lapar? Karena dia ingin menjadi orang pertama yang Rani lihat saat Rani sadar. Bukan ingin lagi, tapi sangat ingin."

Ravael kini tidak bisa menyela lagi. Dia hanya terdiam, tidak ada gunanya dia menyela lagi. Toh semua yang dikatakan Marry itu benar. "Ya, kau benar Marry."

Sudah seminggu sejak insiden Rani tertabrak mobil, dan selama itu juga Stive enggan untuk masuk sekolah. Berdalih tidak enak badan, nyatanya dia hanya ingin berada disamping Rani. Para sahabat Stive dan Rani mulai berdatangan. Ravael, Diana, Marry, Shun, Jackline, Rika, Edward, Bella, Irene, Kudao, bahkan Geraldo yang notabene adalah mantan pacar Rani pun juga datang. Semua teman Rani tahu bahwa pemuda berambut merah itu sesungguhnya masih menyimpan rasa dengan Rani, tapi dia merelakan gadis pujaannya itu dengan orang lain.

Malam makin larut, angin dingin yang menusuk kulit tidak membuat pemuda berambut hitam kebiruan ini kedinginan. Walaupun keadaan diatas atap rumah sakit ini remang-remang -karena hanya sinar bulan yang menerangi- tapi toh dia tetap juga kesitu. Dengan berbekal jaket kulit hitamnya, dia duduk diatas besi penyanggah dan menatap ke pusat kota yang semakin malam, semakin ramai.

"Huh!" nafas panjang pun dihembuskannya, tanda bahwa dia lelah. Tapi selelah-lelahnya Stive, kalau untuk Rani Rich, apapun akan dia lakukan. Memang tipe pasangan yang setia.

Cinta adalah misteri dalam hidupku..

Yang tak pernah ku tahu akhirnya..

Sebuah lagu pun mengalun menemani Stive. Lagu sedih yang memiliki makna yang dalam, sebuah lagu yang berjudul Kuingin S'lamanya...

Namun tak seperti cintaku pada dirimu..

Yang harus tergenapi dalam kisah hidupku..

"Rani, aku mau bicara sesuatu!" pinta Stive yang kemudian menggenggam tangan Rani dan membawanya ke Gym yang saat itu kosong.

"Ada apa, Stive?" tanya Rani bingung.

Stive tidak menjawab, dia hanya memandang Rani dalam diam. Dan tanpa disadari Rani, tiba-tiba Stive memeluknya.

"S-Stive.."

"Jadilah pacarku, Ran..!! Aku mohon!!" setelah mendengar itu, Rani tersenyum. Lalu membalas pelukan Stive.

"Ya, aku mau.."

Ku ingin slamanya mencintai dirimu..

Sampai saat ku akan menutup mata dan hidupku..

Ku ingin slamanya ada di sampingmu..

Menyayangi dirimu sampai waktu kan memanggilku..

"M-mau apa kau, Rachel?"

Rachel tersenyum sinis. "Hah? Mau apa? Yang jelas aku mau My Dear Stive kembali padaku!"

Rani membelakkan mata. Dia mencoba mencari pertolongan dengan melihat sekitarnya, tapi tidak ada siapapun. Memang, tempatnya saat ini berada didekat hutan. Jadi jarang ada orang yang lewat.

"Kau mencari apa, Rani? Pertolongan? Tidak akan ada orang yang lewat. Ini daerah hutan, dan hanya ada aku dan kau. Jadi.." Rachel tidak melanjutkan ucapannya, tapi dia mengeluarkan gunting dari saku rok sekolahnya.

"Ra-Rachel, k-kau mau a-apa?" tanya Rani ketakutan, karena semakin Rani mundur, semakin maju Rachel berjalan.

"Aku mau potong rambutmu, puas?"

"T-tapi kenapa?" Rani semakin mundur. Hingga dia menabrak pohon,  dan kini Rani benar-benar terpojok.

"Kenapa?" tanya Rachel sambil tersenyum sinis. "Nggak bisa mundur?"

"Karin, aku mohon jangan!" pinta Rani.

"Jangan? Lepaskan dulu Stive dan aku akan melepaskanmu. Atau-" Rachel kini sudah menarik rambut Rani dan segera mengarahkan gunting tajam itu ke rambut Rani.

"Jangan!!!!" teriak Rani yang hanya bisa menutup matanya. Tapi kunjungan gunting yang diarahkan Rachel tak kunjung datang. Saat Rani membuka matanya, terlihat siluet pahlawannya yang berdiri dihadapannya memegang tangan Rachel.

"S-Stive?" kini giliran Rachel yang tercengang. Stive datang dan menghentikan Rachel yang hampir memotong mahkota Rani. "T-tapi kenapa.."

"Ravael yang memberitahuku." ujar Stive datar. Dia lalu menggenggam tangan Rani yang dingin. "Ayo!" Stive lalu membawa Rani ke mobil Honda Stream Hyper-Sport Concept miliknya.

"Stive!" panggil Rachel sebelum Stive masuk mobilnya. "A-aku-"

"Jangan pernah ganggu Rani lagi!!" kecam Stive. Dia lalu masuk ke mobilnya dan meninggalkan Rachel sendirian.

Ku berharap abadi dalam hidupku..

Mencintamu bahagia untukku..

Karena kasihku hanya untuk dirimu..

Selamanya kan tetap milikmu..

"Stive, nanti kalau kau ulang tahun, mau kado apa?" tanya Rani dengan wajah polosnya.

Stive menatap Rani yang duduk didepannya, lalu kembali berkutat dengan buku fisikanya. "Entah!"

Rani yang mendengar jawaban itu hanya menggembungkan pipinya. Dia lalu berjalan hingga berada disamping Stive yang masih berkutat dengan bukunya. "Stive, yang benar dong! Kau itu mau hadiah apa? Bilang aja, akan kuusahakan untuk memberikan apa yang kau mau."

Stive mengangkat alisnya, lalu dai tersenyum kecil. "Kau beneran mau tahu?" tanyanya.

"Ya." jawab Rani. Tiba-tiba saja Stive menarik tangan Rani hingga dia jatuh dipangkuannya.

"S-Stive.." Stive tidak menjawab. Dia hanya memegang dagu Rani, perlahan memajukan wajahnya, memperkecil jarak antara dia dengan Rani. Rani sendiripun tidak menolak. Dia ikut memajukan wajahnya. Hingga jarak antara mereka sudah 2 cm, tiba-tiba..

"STIVE!! AYO PULANG!!!" Ravael dari balik pintu kelas berteriak, memanggil Stive. Spontan Stive dan Rani menjauhkan diri, dengan wajah yang sudah sangat merah tentunya.

'Ravael Sialan!!!..' runtuk Stive dalam hati. Stive lalu melihat Rani yang kini sudah memerah mukanya. Lalu ditariknya tangan Rani dan dikecupnya kening Rani. Hal itu spontan membuat wajah Rani makin merah padam.

"Ayo!" ajak Stive sembari menarik tangan Rani lembut. Rani tersenyum manis dan berjalan pulang kerumah dalam genggaman Stive.

Ku ingin slamanya mencintai dirimu..

Sampai saat ku akan menutup mata dan hidupku..

Ku ingin slamanya ada di sampingmu..

Menyayangi dirimu sampai waktu kan memanggilku..

"Stive, menurutmu kita bisa bersama selamanya?" Rani menyandarkan kepalanya dibahu Stive.

"Entah."

Rani memggembungkan pipinya hingga berisi seperti balon, membuat Stive mencibit pipi chubby Rani.

"Stive. sakit!" ujar Rani sambil mengelus pipinya yang memerah.

Stive hanya tersenyum kecil, lalu dirangkulnya Rani dan dipeluknya gadis berambut lavender itu erat. Seakan tidak mau melepaskannya lagi. Sedangkan Rani? Hanya membalas pelukan Stive.

Di relung sukmaku

Ku labuhkan s'luruh cintaku

"Stive, tunggu aku!!"

"..."

"Stive! Jelaskan padaku kenapa kau mengabaikanku kayak gini!!"

"..."

"Stive!!!"

"Stive, tungg- aaa~"

Di hembus nafasku

Ku abadikan s'luruh kasih dan sayangku

"AAKKHH!!!" teriak Stive sambil mencengkram keras rambutnya.

Ku ingin slamanya mencintai dirimu..

Sampai saat ku akan menutup mata dan hidupku..

Ku ingin slamanya ada di sampingmu..

Menyayangi dirimu sampai waktu kan memanggilku..

"Rani.."

"Ugh.." Rani membuka matanya yang terasa berat. Perlahan tapi pasti Rani mulai bersosialisasi dengan cahaya lampu yang menyinarinya.

"Rani, kau sudah sadar?" Joe lah yang pertama menyadari bahwa Rani sudah sadar.

"K-Kak Jo..?" Rani mulai bangun perlahan-lahan, tapi luka diperutnya belum sembuh benar, jadi dia masih meringis kesakitan. "I-ini dimana?" tanya Rani.

"Ini diruang 280. Kau sempat inap diruang ICU selama seminggu. Baru saja dokter mengatakan kau sudah dalam kondisi stabil, dan atas izinku kau dipindahkan diruang ini. Rani, tidurlah dulu!" ujar Joe. "Biar aku panggilkan Stive dulu, Oke?"

Saat Joe akan pergi, Rani menahan tangannya. "Kak, apa Stive marah padaku?" tanya Rani.

Joe tersenyum, lalu dia kembali duduk dikursi samping ranjang Rani. "Ran.., Stive itu tidak marah padamu. Dia malah sangat menyayangimu."

"M-maksud Kakak?"

"Stive itu sengaja mengabaikanmu karena dia ingin memberikan pesta kejutan hari ulang tahunmu. Dia berencana akan mengajakmu dinner saat malam dihari ulang tahunmu. Tapi, kau saat itu terbaring lemah dirumah sakit. Dan dia benar-benar menyesali kesalahannya. Dia terus menyalahkan dirinya akan kecelakaan yang menimpamu." terang Joe.

Rani terdiam. Dia merasa kacau perasaannya saat ini. Lalu dia menatap Joe yang masih melihat kearah jendela kamar. "Lalu.. kemana Stive sekarang, Kak?" tanya Rani.

Joe tidak menjawab. Dia hanya tersenyum. Hal itu membuat Rani bingung plus takut.

CKLEK..

Pintu atap rumah sakit terbuka, menandakan ada seseorang yang masuk kedalam. Tapi meskipun begitu, Stive tidak menghiraukan tamunya itu sama sekali.

"Stive!" panggil pemuda yang 5 tahun lebih tua dari Stive ini. Meskipun dipanggil, tapi Stive tetap tidak mengindahkannya.

"Stive.." panggil gadis berambut Lavender, lembut. Saat mendengar suara Rani, Stive berbalik. Menemukan Hime-nya yang kini duduk dikursi roda dengan wajah yang masih pucat.

"Ra-Rani?" tanya Stive bingung. Pasalnya Rani yang kini dilihatnya seperti malaikat dengan dress putih selutut tanpa lengan, meskipun kondisinya kini masih duduk dikursi roda.

Joe lalu mendorong kursi roda Rani perlahan, dan membawanya tepat dihadapan Stive. "Aku pergi!" ujarnya yang kemudian keluar dan meninggalkan adiknya ini bersama malaikatnya.

"Stive.." panggil Rani sambil menjulurkan tangannya, seperti anak kecil yang mengharapkan pelukan dari Ibunya. Stive tersenyum kecil dan menghamburkan diri dipelukan Rani.

"Ran…, aku.."

"Sstt.. Jangan bilang apapun. Kak Joe sudah menjelaskan semuanya. Bukan salahmu aku begini. Ini semua salahku yang terlalu memaksakan kehendakku. Aku-" penjelasan Rani terpotong karena Stive membekap mulut Rani dengan tangannya. Semakin lengkap pula penderitaan Rani karena wajah Sasuke kini sejajar dengan wajahnya.

"Happy birthday Rani!!" ujar Stive sembari melepas tangannya dari mulut Rani. Belum sempat Rani berkata-kata apa-apa, Stive sudah menciumnya lembut. Sebuah ciuman yang lama tapi tanpa nafsu sama sekali dari kedua belah pihak.

Setelah benar-benar membutuhkan pasokan oksigen, Stive memisahkan diri dari Rani. Lalu dia melepas jaket kulitnya dan memakaikannya ke tubuh Rani. Lalu didorongnya kursi roda Rani perlahan dan mereka kembali kekamar 280.

"Happy birthday Rani! I Love You.."

“I Love You To Stive……..”






Rionyx

Tidak ada komentar:

Posting Komentar