Senin, 15 Desember 2014

I LOVE YOU










"Stive, tunggu aku!!"

"..."

"Stive! Jelaskan padaku kenapa kau mengabaikanku kayak gini!!"

"..."

"Stive!!!"

"Stive, tungg- aaa~"

"RANIIII!!!"
- Stive POV -

Salahku! Ini semua salahku! Ini semua salahku hingga dia begini. Salahku dia harus merasa dijauhi. Salahku dia harus kecapaian berlari mengejarku. Salahku dia harus terbaring. Bila hanya merasa dijauhi atau capai, itu tidak masalah. Tapi terbaring?

Aku Stive Anthony, siswa kelas 2-1, siswa yang selalu mendapat peringkat pertama, merupakan murid dengan Fans Club terbanyak di Veron High School, siswa yang sangat populer, dan merupakan satu dari lima murid terkaya di Veron High School.

Itu semua merupakan kelebihanku. Mereka bilang aku adalah manusia yang perfect, tidak mempunyai cela sedikitpun. Tapi mereka salah. Sesempurnanya manusia, pastinya mereka akan mempunyai cela, walaupun tidak nampak.

Dan inilah kelemahanku. Aku.. Paling.. Bodoh.. Dengan.. Cinta..

Lucu kan? Aku rasa tidak. Aku yang selalu dipuji dengan ucapan 'kau pintar sekali, Sasuke', ternyata lemah dengan cinta. Hingga dia datang ke dalam hidupku.

Dia, hanyalah gadis biasa. Dia, berasal dari kalangan keluarga sederhana. Dia, yang merubah kepribadianku luar dan dalam. Dialah kekasih pertamaku, Rani Rich.

Cukup sulit untukku untuk mendapatkan hatinya. Dia yang saat pertama masuk Veron High School ini sangat tergila-gila dengan pelajaran dan mengesampingkan masalah pribadi. Akupun mulai mendekatinya dan bersapa ringan. Hanya saling mengucapkan 'Hai' dan dia kembali berkutat dengan buku Rumus Matematika yang dia pinjam di perpustakaan. Keren bukan? Dan dihari berikutnya aku kembali menyusun rencana agar aku bisa satu kelompok Bahasa Inggris dengannya. Yang pada saat itu aku harus berjuang untuk memohon bantuan sahabatku, Ravael untuk menyusun semua rencananya, dan itu berhasil. Perlahan demi perlahan dia mau berbicara denganku dan pada akhirnya aku bisa akrab dengannya.

Hey, aku Stive Anthony bukan? Stive yang selalu mendapat perhatian penuh dari seluruh murid perempuan yang ada di Veron High School, kecuali dia. Stive yang dengan mudahnya bisa mendapat apa yang kumau, kecuali dia. Stive yang selalu dipuji ketampanan dan kepintarannya oleh semua orang, kecuali dia. Ya, semuanya kudapat kecuali dari dia.

Dan kini, setelah setahun aku bisa memikat hatinya dan menjadi pacar resminya, aku menyia-nyiakannya. Bodohnya aku!! Hanya demi memberinya kejutan dihari ulang tahunnya, aku sampai harus mengabaikannya. Tidak menegurnya selama satu hari penuh, itulah rencana yang dibuat Ravael dan teman Rani yang berambut kuning itu. Tidak menegurnya selama satu hari penuh? Tidak mendengar suaranya selama satu jam saja sudah membuatku rindu setengah mati. Apalagi satu hari penuh tidak berbicara padanya? Bisa gila aku ini.

"Stive Anthony, kau benar-benar ingin memberinya kejutan?" tanya sahabat Rani yang berambut kuning panjang ini sambil berkacak pinggang dihadapanku.

Aku hanya memalingkan mukaku. Dan dapat kurasakan perempuan ini tersenyum. "Baiklah, cukup mengabaikannya satu hari. Lalu datang kerumahnya nanti malam. Bawa kue ulang tahun dan kadomu dan semuanya akan berakhir romantis. Kau mengerti?"

Aku membelakkan mata. Gila!! Satu hari penuh tidak berbicara dengannya itu sama saja dengan membuatnya menangis dan merasa bersalah. "Tidak!!" ucapku tegas.

"Kenapa Stive?" tanya sahabatku yang paling berisik ini.

"Kau gila," aku berdiri membelakangi mereka berdua. "Rani akan sakit kalau dia kuperlakukan begitu."

"Stive," perempuan berambut kuning panjang ini kini berdiri dihadapanku. "Kau melakukan itu karena ingin memberinya kejutan. Jadi lakukan saja, Oke?"

Aku terdiam sejenak. Menimang-nimang keputusan yang mungkin akan memberatkanku ini. "Oke." jawabku pada akhirnya.

Dan sekarang? Apa yang terjadi? Karena aku benar-benar mengabaikannya dihari ini, dia sampai-sampai mengejarku kemanapun aku pergi. Hanya untuk bertanya 'Apa salahku?'. Jujur, pertanyaan itu sungguh menyakitkan. Ingin sekali kukatakan 'Kau tidak salah apa-apa, Rani.', tapi itu hanya akan menghancurkan rencanaku. Sampai saat jam sekolah usai, aku hanya berjalan tanpa menghiraukan Rani yang berlari mengejarku dibelakang.

"Stive, tunggu aku!!" panggil Rani sambil tetap mengikutiku.

"..." Aku? hanya diam.

"Stive! Jelaskan padaku kenapa kau mengabaikanku kayak gini!!" tanya Rani lagi.

"..."

"Stive!!!" dan panggilan itu masih tetap terdengar saat aku menyebrang jalan dipusat kota. Jalanan saat ini terlihat ramai. Mobil dan motor berlalu dengan kecepatan tinggi. Jujur, saat melihat mobil yang melintas, perasaanku jadi tidak enak.

"Stive, tunggu! Sti- aaa~"

CIITT!!! BRUKK!!!

"RANIIII!!!" pemandangan yang benar-benar tidak ingin kulihat. Rani yang saat itu berniat mengejarku kini tersungkur lemah dijalanan dengan luka disekijur tubuhnya. Aku lalu berlari menembus orang-orang yang tengah menegrubungi tubuh Rani.

"Rani!! Rani, bangun!!" aku terus mengguncang tubuh Rani.

"Rani!! Cepat panggilkan ambulans!! CEPAT!!!"

Dan beginilah sekarang. Aku duduk dikursi rumah sakit ini dan terus menyesali perbuatanku yang hampir membunuhnya. Dan Rani? Dia terbaring lemah tak berdaya diruang ICU. Dokter mengatakan bahwa Rani mengalami cidera dikepala dan tulang kakinya yang retak. Sungguh rasanya aku ingin mengulang waktu. Hanya karena rencana bodoh itu, orang yang sangat kusayangi kini terbaring lemah.

-End Stive POV-

"Stive...." Joe muncul dari balik tikungan lorong rumah sakit dan segera menghampiri adik semata wayangnya itu.

"Kakak." Stive hanya bisa memanggil Kakaknya lirih.

"Apa yang terjadi? Kenapa Rani bis-"

"Aku nggak tahu. Aku nggak tahu, Semuanya terjadi begitu cepat dan.. sekarang.." Stive berbicara dengan sangat kacau. Melihat adiknya yang terlihat menyedihkan itu, Joe hanya bisa memeluk Stive. Dan Stive tidak menolak pelukan dari Joe.

'Mungkin Stive benar-benar membutuhkan pelukan ini..' batin Joe.

Tit..Tit..Tit..

Suara monitor pendetak jantung Rani masih menunjukkan angka yang sama, belum membaik sedikitpun. Sudah dua hari Rani koma diruang ICU dan sejak dua hari itulah Stive dengan setianya menunggu Rani. Layaknya putri tidur, kecupan pun diberikan Stive. Dipipi maupun dikening Rani. Dibibir? Sampai sekarang pun Stive belum berani mengecup Rani dibibirnya, meskipun Rani tengah tidur sekalipun.

"Rani, kau harus bangun! Kau tahu betapa aku sangat merindukanmu." ujar Stive lirih sambil menggenggam tangan Rani yang dingin dan memucat.

"Rani, bertahanlah! Demi aku!" pinta Stive.

Tok..Tok..

"Stive, aku masuk!" ujar Ravael yang baru datang bersama dengan Marry. Ravael dan Marry berjalan hingga dia berada disisi kiri ranjang Rani, sedangkan Stive berada disisi kanan Rani.

"Stive, maaf! Gara-gara rencana bodoh kita, Rani-"

"Bukan!" ujar Stive menghentikan ucapan permintaan maaf Marry. "Ini bukan salah kalian. Ini semua salahku."

"Tapi Stive.."

"Jangan meminta maaf lagi! Jangan buatku semakin merasa bersalah! Jangan!!" ujar Stive lirih. Sedetik kemudian dia menenggelamkan wajahnya dibahu Rani.

Ravael dan Marry yang melihat itu tidak bisa berbuat apa-apa. Pada akhirnya mereka pergi setelah memberikan Stive bungkusan makanan yang sengaja dibeli Ravael untuk Stive, karena dia tahu Stive belum makan sejak pagi.

"Rani.."

"Hei Marry!" panggil Ravael. Marry menoleh dan melihat Ravael yang masih menatap langit.

"Apa?"

"Menurutmu Rani bisa sembuh?" tanya Ravael.

Mata Marry membelak, tidak percaya dengan apa yang ditanya Ravael. "Kau tidak boleh berkata seperti itu, Rav-. Rani pasti sembuh."

Ravael diam, lalu dia kembali bertanya. "Tapi kau ingat apa yang dikatakan Kak Joe? Kemungkinan Rani bisa sembuh itu 50:50. Dan walaupun Rani sembuh, dia pasti ca-"

"Nggak!!" Marry membantah. "Rani harus sembuh. Apapun dan bagaimanapun caranya."

"Meskipun dia cacat?" ujar Ravael yang sekarang sama emosinya dengan Marry. "Marry, aku lebih memilih Rani meninggal dengan bahagia daripada dia harus menderita karena cacatnya."

"Dan jika kau menginginkan begitu, kau akan melihat Stive stres." Marry mengambil nafas panjang sebelum dia melanjutkan ucapannya. "Kau tahu Stive sangat ingin melihat Rani membuka matanya lagi, iya kan? Kau tahu kenapa Stive sampai bersikeras tetap berada disamping Rani? Sampai dia harus berpuasa menahan lapar? Karena dia ingin menjadi orang pertama yang Rani lihat saat Rani sadar. Bukan ingin lagi, tapi sangat ingin."

Ravael kini tidak bisa menyela lagi. Dia hanya terdiam, tidak ada gunanya dia menyela lagi. Toh semua yang dikatakan Marry itu benar. "Ya, kau benar Marry."

Sudah seminggu sejak insiden Rani tertabrak mobil, dan selama itu juga Stive enggan untuk masuk sekolah. Berdalih tidak enak badan, nyatanya dia hanya ingin berada disamping Rani. Para sahabat Stive dan Rani mulai berdatangan. Ravael, Diana, Marry, Shun, Jackline, Rika, Edward, Bella, Irene, Kudao, bahkan Geraldo yang notabene adalah mantan pacar Rani pun juga datang. Semua teman Rani tahu bahwa pemuda berambut merah itu sesungguhnya masih menyimpan rasa dengan Rani, tapi dia merelakan gadis pujaannya itu dengan orang lain.

Malam makin larut, angin dingin yang menusuk kulit tidak membuat pemuda berambut hitam kebiruan ini kedinginan. Walaupun keadaan diatas atap rumah sakit ini remang-remang -karena hanya sinar bulan yang menerangi- tapi toh dia tetap juga kesitu. Dengan berbekal jaket kulit hitamnya, dia duduk diatas besi penyanggah dan menatap ke pusat kota yang semakin malam, semakin ramai.

"Huh!" nafas panjang pun dihembuskannya, tanda bahwa dia lelah. Tapi selelah-lelahnya Stive, kalau untuk Rani Rich, apapun akan dia lakukan. Memang tipe pasangan yang setia.

Cinta adalah misteri dalam hidupku..

Yang tak pernah ku tahu akhirnya..

Sebuah lagu pun mengalun menemani Stive. Lagu sedih yang memiliki makna yang dalam, sebuah lagu yang berjudul Kuingin S'lamanya...

Namun tak seperti cintaku pada dirimu..

Yang harus tergenapi dalam kisah hidupku..

"Rani, aku mau bicara sesuatu!" pinta Stive yang kemudian menggenggam tangan Rani dan membawanya ke Gym yang saat itu kosong.

"Ada apa, Stive?" tanya Rani bingung.

Stive tidak menjawab, dia hanya memandang Rani dalam diam. Dan tanpa disadari Rani, tiba-tiba Stive memeluknya.

"S-Stive.."

"Jadilah pacarku, Ran..!! Aku mohon!!" setelah mendengar itu, Rani tersenyum. Lalu membalas pelukan Stive.

"Ya, aku mau.."

Ku ingin slamanya mencintai dirimu..

Sampai saat ku akan menutup mata dan hidupku..

Ku ingin slamanya ada di sampingmu..

Menyayangi dirimu sampai waktu kan memanggilku..

"M-mau apa kau, Rachel?"

Rachel tersenyum sinis. "Hah? Mau apa? Yang jelas aku mau My Dear Stive kembali padaku!"

Rani membelakkan mata. Dia mencoba mencari pertolongan dengan melihat sekitarnya, tapi tidak ada siapapun. Memang, tempatnya saat ini berada didekat hutan. Jadi jarang ada orang yang lewat.

"Kau mencari apa, Rani? Pertolongan? Tidak akan ada orang yang lewat. Ini daerah hutan, dan hanya ada aku dan kau. Jadi.." Rachel tidak melanjutkan ucapannya, tapi dia mengeluarkan gunting dari saku rok sekolahnya.

"Ra-Rachel, k-kau mau a-apa?" tanya Rani ketakutan, karena semakin Rani mundur, semakin maju Rachel berjalan.

"Aku mau potong rambutmu, puas?"

"T-tapi kenapa?" Rani semakin mundur. Hingga dia menabrak pohon,  dan kini Rani benar-benar terpojok.

"Kenapa?" tanya Rachel sambil tersenyum sinis. "Nggak bisa mundur?"

"Karin, aku mohon jangan!" pinta Rani.

"Jangan? Lepaskan dulu Stive dan aku akan melepaskanmu. Atau-" Rachel kini sudah menarik rambut Rani dan segera mengarahkan gunting tajam itu ke rambut Rani.

"Jangan!!!!" teriak Rani yang hanya bisa menutup matanya. Tapi kunjungan gunting yang diarahkan Rachel tak kunjung datang. Saat Rani membuka matanya, terlihat siluet pahlawannya yang berdiri dihadapannya memegang tangan Rachel.

"S-Stive?" kini giliran Rachel yang tercengang. Stive datang dan menghentikan Rachel yang hampir memotong mahkota Rani. "T-tapi kenapa.."

"Ravael yang memberitahuku." ujar Stive datar. Dia lalu menggenggam tangan Rani yang dingin. "Ayo!" Stive lalu membawa Rani ke mobil Honda Stream Hyper-Sport Concept miliknya.

"Stive!" panggil Rachel sebelum Stive masuk mobilnya. "A-aku-"

"Jangan pernah ganggu Rani lagi!!" kecam Stive. Dia lalu masuk ke mobilnya dan meninggalkan Rachel sendirian.

Ku berharap abadi dalam hidupku..

Mencintamu bahagia untukku..

Karena kasihku hanya untuk dirimu..

Selamanya kan tetap milikmu..

"Stive, nanti kalau kau ulang tahun, mau kado apa?" tanya Rani dengan wajah polosnya.

Stive menatap Rani yang duduk didepannya, lalu kembali berkutat dengan buku fisikanya. "Entah!"

Rani yang mendengar jawaban itu hanya menggembungkan pipinya. Dia lalu berjalan hingga berada disamping Stive yang masih berkutat dengan bukunya. "Stive, yang benar dong! Kau itu mau hadiah apa? Bilang aja, akan kuusahakan untuk memberikan apa yang kau mau."

Stive mengangkat alisnya, lalu dai tersenyum kecil. "Kau beneran mau tahu?" tanyanya.

"Ya." jawab Rani. Tiba-tiba saja Stive menarik tangan Rani hingga dia jatuh dipangkuannya.

"S-Stive.." Stive tidak menjawab. Dia hanya memegang dagu Rani, perlahan memajukan wajahnya, memperkecil jarak antara dia dengan Rani. Rani sendiripun tidak menolak. Dia ikut memajukan wajahnya. Hingga jarak antara mereka sudah 2 cm, tiba-tiba..

"STIVE!! AYO PULANG!!!" Ravael dari balik pintu kelas berteriak, memanggil Stive. Spontan Stive dan Rani menjauhkan diri, dengan wajah yang sudah sangat merah tentunya.

'Ravael Sialan!!!..' runtuk Stive dalam hati. Stive lalu melihat Rani yang kini sudah memerah mukanya. Lalu ditariknya tangan Rani dan dikecupnya kening Rani. Hal itu spontan membuat wajah Rani makin merah padam.

"Ayo!" ajak Stive sembari menarik tangan Rani lembut. Rani tersenyum manis dan berjalan pulang kerumah dalam genggaman Stive.

Ku ingin slamanya mencintai dirimu..

Sampai saat ku akan menutup mata dan hidupku..

Ku ingin slamanya ada di sampingmu..

Menyayangi dirimu sampai waktu kan memanggilku..

"Stive, menurutmu kita bisa bersama selamanya?" Rani menyandarkan kepalanya dibahu Stive.

"Entah."

Rani memggembungkan pipinya hingga berisi seperti balon, membuat Stive mencibit pipi chubby Rani.

"Stive. sakit!" ujar Rani sambil mengelus pipinya yang memerah.

Stive hanya tersenyum kecil, lalu dirangkulnya Rani dan dipeluknya gadis berambut lavender itu erat. Seakan tidak mau melepaskannya lagi. Sedangkan Rani? Hanya membalas pelukan Stive.

Di relung sukmaku

Ku labuhkan s'luruh cintaku

"Stive, tunggu aku!!"

"..."

"Stive! Jelaskan padaku kenapa kau mengabaikanku kayak gini!!"

"..."

"Stive!!!"

"Stive, tungg- aaa~"

Di hembus nafasku

Ku abadikan s'luruh kasih dan sayangku

"AAKKHH!!!" teriak Stive sambil mencengkram keras rambutnya.

Ku ingin slamanya mencintai dirimu..

Sampai saat ku akan menutup mata dan hidupku..

Ku ingin slamanya ada di sampingmu..

Menyayangi dirimu sampai waktu kan memanggilku..

"Rani.."

"Ugh.." Rani membuka matanya yang terasa berat. Perlahan tapi pasti Rani mulai bersosialisasi dengan cahaya lampu yang menyinarinya.

"Rani, kau sudah sadar?" Joe lah yang pertama menyadari bahwa Rani sudah sadar.

"K-Kak Jo..?" Rani mulai bangun perlahan-lahan, tapi luka diperutnya belum sembuh benar, jadi dia masih meringis kesakitan. "I-ini dimana?" tanya Rani.

"Ini diruang 280. Kau sempat inap diruang ICU selama seminggu. Baru saja dokter mengatakan kau sudah dalam kondisi stabil, dan atas izinku kau dipindahkan diruang ini. Rani, tidurlah dulu!" ujar Joe. "Biar aku panggilkan Stive dulu, Oke?"

Saat Joe akan pergi, Rani menahan tangannya. "Kak, apa Stive marah padaku?" tanya Rani.

Joe tersenyum, lalu dia kembali duduk dikursi samping ranjang Rani. "Ran.., Stive itu tidak marah padamu. Dia malah sangat menyayangimu."

"M-maksud Kakak?"

"Stive itu sengaja mengabaikanmu karena dia ingin memberikan pesta kejutan hari ulang tahunmu. Dia berencana akan mengajakmu dinner saat malam dihari ulang tahunmu. Tapi, kau saat itu terbaring lemah dirumah sakit. Dan dia benar-benar menyesali kesalahannya. Dia terus menyalahkan dirinya akan kecelakaan yang menimpamu." terang Joe.

Rani terdiam. Dia merasa kacau perasaannya saat ini. Lalu dia menatap Joe yang masih melihat kearah jendela kamar. "Lalu.. kemana Stive sekarang, Kak?" tanya Rani.

Joe tidak menjawab. Dia hanya tersenyum. Hal itu membuat Rani bingung plus takut.

CKLEK..

Pintu atap rumah sakit terbuka, menandakan ada seseorang yang masuk kedalam. Tapi meskipun begitu, Stive tidak menghiraukan tamunya itu sama sekali.

"Stive!" panggil pemuda yang 5 tahun lebih tua dari Stive ini. Meskipun dipanggil, tapi Stive tetap tidak mengindahkannya.

"Stive.." panggil gadis berambut Lavender, lembut. Saat mendengar suara Rani, Stive berbalik. Menemukan Hime-nya yang kini duduk dikursi roda dengan wajah yang masih pucat.

"Ra-Rani?" tanya Stive bingung. Pasalnya Rani yang kini dilihatnya seperti malaikat dengan dress putih selutut tanpa lengan, meskipun kondisinya kini masih duduk dikursi roda.

Joe lalu mendorong kursi roda Rani perlahan, dan membawanya tepat dihadapan Stive. "Aku pergi!" ujarnya yang kemudian keluar dan meninggalkan adiknya ini bersama malaikatnya.

"Stive.." panggil Rani sambil menjulurkan tangannya, seperti anak kecil yang mengharapkan pelukan dari Ibunya. Stive tersenyum kecil dan menghamburkan diri dipelukan Rani.

"Ran…, aku.."

"Sstt.. Jangan bilang apapun. Kak Joe sudah menjelaskan semuanya. Bukan salahmu aku begini. Ini semua salahku yang terlalu memaksakan kehendakku. Aku-" penjelasan Rani terpotong karena Stive membekap mulut Rani dengan tangannya. Semakin lengkap pula penderitaan Rani karena wajah Sasuke kini sejajar dengan wajahnya.

"Happy birthday Rani!!" ujar Stive sembari melepas tangannya dari mulut Rani. Belum sempat Rani berkata-kata apa-apa, Stive sudah menciumnya lembut. Sebuah ciuman yang lama tapi tanpa nafsu sama sekali dari kedua belah pihak.

Setelah benar-benar membutuhkan pasokan oksigen, Stive memisahkan diri dari Rani. Lalu dia melepas jaket kulitnya dan memakaikannya ke tubuh Rani. Lalu didorongnya kursi roda Rani perlahan dan mereka kembali kekamar 280.

"Happy birthday Rani! I Love You.."

“I Love You To Stive……..”






Rionyx

A LAST NIGHT WITH YOU



A LAST NIGHT WITH YOU
Tak kusangka liburan kali ini akan sangat melelahkan. Seminggu melakukan pendakian di gunung kelabat memang sangat melelahkan.Sebenarnya aku juga tidak mau menghabiskan acara liburanku dengan melakukan pendakian macam ini.Tapi ini semua adalah kemauan orang tuaku, dan aku sebagai anak yang memiliki sifat yang sangat hormat kepada orang tuaku, mau tidak mau aku harus ikut bersama dengan mereka. Padahal sebelumnya, dari jauh hari sebelum liburan, aku sudah menjadwalkan kegiatanku selama liburan.Tapi semuanya sia-sia, aku harus membatalkan semua acara liburanku saat itu dan mengikuti orang tuaku dalam pendakian mereka.
                Singkat cerita, aku dan kedua orang tuaku sudah pulang dari acara liburan kami di gunung, alias pendakian kami. Dan karena jarak antara gunung kelabat dan rumah ku yang agak jauh, dan juga ditambah dengan macetnya jalan raya, aku dan keluargaku sampai di rumah pada pukul tujuh malam. Padahal kami berangkat dari pukul delapan pagi.
                Sesampainya dirumah, aku langsung bergegas ke kamar mandi, yang berada di kamarku. Maklum kamar tidurku sudah dilengkapi dengan kamar mandi pribadi, jadi tidak usah repot jika mau mandi atau yang lainnya, yang memerlukan ruangan tersebut.
                Aku membuat penuh bathub dengan air yang hangat.Tak butuh waktu lama, aku segera masuk ke dalam bathub setelah sebelumnya membuka seluruh pakaianku.
                “Ahhh, sungguh nikmat.”Ucapku ketika merasakan betapa nikamatnya mandi dengan air hangat setelah seminggu di pendakian. Aku hanya memerlukan sepuluh menit di dalam bathub untuk menyegarkan pikiranku. Setelah aku keluar dari dalam baathub, aku segera ke kamar dan mengenakan pakaian yang sebelumnya telah kusiapkan.
                Mataku sudah benar-benar tidak bisa diajak kompromi. Sekarang aku sudah benar-benar mengantuk, ini pasti karena aku kecape’an setelah pendakaian. Aku segera membariangkan tubuhku di atas kasur dan tak butuh waktu lama segera memasuki alam mimpiku.
.
.
.
.
               
DZZZT....
                DZZZT....
                Suara dan getaran yang ditimbulkan handphone menggetkanku. Padahal aku baru tidur selama lima belas menit.
                “Ck, siapa sih yang ganggu!? Gak tau apa kalau gue udah capek banget!?” gerutuku dalam hati pada orang yang menelponku. Paahal jika dipikirkan secara logika orang itu tidak mungkin tahu kan kalau aku sedang kelelahan, apalagi yang ku lihat adalah nomor baru.
                “Hal….”
“HALLOOO SAYANG” Belum sempat aku meneruskan sapaanku, orang yang menelponku sudah mendahului dengan mengeluarkan yang tidak bisa dibilang pelan. Reflex aku harus menjauhkan handphone dari telinga.
“Hwaaa!! Siapa sih lo!?Ganggu orang aja!!!”Aku berteriak karena saking kesalnya dengan orang itu.
“Ah, sayang, ini aku masa kamu gak kenal dengan suaraku?hahaha” Orang ituterus saja memanggilku dengan sebutan sayang. Lama-kalemaan aku mulai bisa mengenali siapa itu.
“Kau? Nico?”Tanyaku.
“Ahahaha, akhirnya kamu mengenaliku juga, sayang Riny” Ah, ternyata dugganku memang benar, dia adalah Nico.
“Gak usah pakai sayang kali.”Ucapku berusaha dibuat dengan suara memelas.Tetapi yang sebenarnya, aku sangat senang dia memangggilku dengan sebutan sayang. Karena sebenarnya aku suka padanya. Tetapi aku sangat malu mengatakannya. Aku malu mengatakan apa yang aku rasakan pada Nico. Karena aku berpikir aku tak layak dengannya .Ya, dia adalah orang terpenting di sekolah, sedangkan aku? Aku hanyalah murid biasa yang selalu melihatnya dari kejauhan, bahkan aku tak berani mendekatinya walaupun hanya semeter saja. Tatapi entah kenapa, sekarang dengan telingaku sendiri, aku mendengar dia memanggilku sayang. Dia memanggilku dengan sebutan sayang. Padahal sebelumnya dia seperti tidak pernah memperhatikanku, tidak pernah melirikku. Bahkan pernah aku dan dia berpapasan, tetapi melirikkupun tidak, atau bahkan tersenyum saja. Dia tidak pernah melakukannya.
“Riny? Sayang kau tidak apa-apa kan?”Suara NIco menyadarkanku dari lamunanku tentangnya.
“Nic, kamu kenapa sih?” Tanyaku penasaran karena perubahan nico
“Aku gak apa-apa sayang. Eh malam ini aku akan ke rumah kamu. Kita akan jalan-jalan. Bye sayang  sampai ketemu disana yah! Oh iya jangan lupa pakai pakaian yang indah yah!”
“Tapi nic.. haloo nic, nic, nico!!” Teleponya terputus.
“Uh, padahal aku sangat kelelahan.”Aku berdecak kesal karena memang saat ini aku benar-benar kelelahan. Tetapi yang sebenarnya hatiku sangat senang diajak jalan-jalan oleh orang yang selama ini aku sukai. Memang benar kata orang, fisik dan hati kadang memiliki jalan yang berbeda.
“hmn. +6290909090909..nomor aneh” Aku melirik nomor yang dipaki Nico untuk menelponku.
Tanpa pikir panjang lagi, aku segera mencari pakaianku yang paling indah menurutku
“Semoga ini juga indah di pandangan Nico” Ucapku sambil melihat tubuhku yang berbalut kaos putih yang dilindugi jacket  blazer berwanna putih di depan cermin yang ada di lemari bajuku, aku juga saat ini menggunakan jeans yang berwarna putih dan tak ketinggalan jepitan rambut bermotif bunga aster putih menghias kepalaku. Entah kenapa malam ini aku ingin sekali menggunakan pakaian putih.
Dua puluh menit kemudian aku mendengar bunyi bel rumahku. Segera aku turun dari kamarku yang terletak di lantai dua dan membuka pintu.
“Riny sayang!!!”Ucap Nico sambil memelukku. Yah, yang datang adalah Nico, orang yang selama ini terasa sangat sulit untuk aku gapai, kini dia berada di dekatku dan……. Memelukku.
“Nico, kamu kenapa sih?”Ucapku aneh ketika merasakkan pelukan Nico yang mengancang seperti seorang yang tak mau kehilangan.
“Gak, aku gak apa-apa. Ayo!” Ucap Nico kemudian mengandengku menuju sebuah mobil yang terparkir di depan rumahku.
Sungguh malam yang sangat indah buatku, Nico mengajakku ke tempat-tempat yang aku sukai. Dia mengajakku makan di sebuah restoran kesukaanku, mengajakku menonton sebuah film yang dari dulu aku selalu memimpikan untuk menontonnya bersama pasanganku,. Dan kini aku menontonnya bersama Nico, bersama dengan orang yang sangat aku kagumi, bersama dengan orang yang sangat aku sukai, bersama dengan orang yang selalu menjadi penghias taman mimpiku. Dia juga mengajak aku ke tempat-tempat yang lainnya seperti taman bermain, pasar malam, dan yang lainnya. Dia juga membelikanku boneka beruang berwarna putih, yang anehnya hanya ada satu di took boneka itu. Selain itu, dia juga memberiku kalung hati yang sangat indah. Dia terus mengajakku berjalan-jalan menuju tempat yang selalu aku impikan untuk aku kunjungi dengannya. Dan di sepanjang perjalanan dia selalu menggandeng tanganku. Seperti tak mau lepas dariku. Dan kemudian dia mengajakku ke sebuah bukit, yang dapat melihat keindahan kota ini.
Aku dan dia kini berbaring berdampingan memandang kearah langit yang pada malam ini sungguh indah karena dihiasi dengan bintang yang begitu banyak. Nico mendekap tubuhku padanya dan memelukku erat, membuatku sangat nyaman.
“Rin.”
“Yah Nic?”
“Aku sangat senang malam ini. Aku sangat senang karena aku sekarang bisa bersama-sama dengan kamu.”
“Aku juga Nic. Malam ini adalah malam terindah di dalam hidupku.” Aku mengencangkan pelukanku pada Nico
“Rin.”
“Yah Nic?” Aku menatapnya sehingga membuat wajahku dan wajahnya sangat dekat.
“Aku… Sebenarnya aku sangat mencintaimu. Sudah lama aku mengagumimu tetapi aku sangat takut untuk mengatakannya.”
                DEG!!
                Jantungku serasa berhenti berdetak ketika mendengar perkataan dari Nico.
                “Nic? Apa kau tidak salah?”
                “Tidak Rin! Aku benar-benar mencintaimu”
                “Nic kamu tidak bercanda kan?”
                “Tidak Rin, aku sedang tidak bercanda. Aku mencintaimu Riny” Ucap Nico dengan mata yang begitu sayu.
                “Aku juga mencintaimu Nico. Aku sangat mencintaimu” Ucapku yang mulai mengeluarkan air mata bahagia, karena orang yang selama ini aku cintai diam-diam juga memiliki perasaan yang sama denganku.
                “Aku tak mau kehilanganmu Rin!”Nico membelai pipiku dengan tangannya yang sangat lembut, dari tatapannya dia separti merasakan takut.
                “Aku mohon jagalah dirimu Rin.” Ucap Nico, air matanya mulai jatuh.
                “Nic, kau kenapa? Memangnya kau ingin kemana?”Aku mulai khawatir melihat Nico yang terus saja menangis sambil mengucapkan hal-hal aneh seolah dia ingin pergi dariku.
                “Mungkin aku adalah lelaki terbodoh di dunia ini, aku tak akan pernah mampu menjagamu lagi, seandainya waktu dapat di putar, aku ingin mengulangnya dari awal. Bersamamu.”Nico terus saja menangis sambil membelai pipiku dengan sangat lembut.
                “Hiks..Nic..”Aku berucap lirih mendengar kata-katanya.
                “Apapun yang terjadi. Kumohon jagalah dirimu Rin! Dan…. Apapun yang terjadi, berjanjilah untuk terus tersenyum! Karena aku tidak suka melihatmu menagis.”Nico terus saja mengatakan hal-hal yang membuat hatiku bertambah khawatir.
                “Berjanjilah Padaku Rin, bahwa kau akan terus tersenyum!” Ucap Nco sambil mengusap air mataku yang sudah semakin deras.
                “Nic. Kumohon jangan tingalkan aku!.... hiks, hiks” Aku memeluknya dengan sangat erat. Sugguh aku tak ingin kehilangan Nico. Aku tak ingin kehilangannya
                “Berjanjilah Rin!..” Ucap Nico membalas pelukannku.
                “Hiks.. Aku.. Hiks… Aku janji padamu..Aku janji untuk tidak menagis. Aku janji untuk terus menjaga diriku..Hiks. Tapi..hiks…. Nico, kumohon… hiks jangan tinggalkan aku! Nico… hiks… hiks ” Tangisanku pecah, aku benar-banar tak dapat membendung air mataku. Aku takut kehilangan Nico. Nico mengangkat wajahku, dia kemudian mengusap mataku. Kulihat wajahnya lebih damai dari yang sebelumnya.
                “Aku… mencintaimu… rin” Ucap nico dan kemudian kurasakan sentuhan lembut di bibirku. Sungguh ciuman yang sangat tulus tanpa ada nafsu sama sekali. Nico mencium bibirku dengan perasaan seolah-olah ini adalah ciuman terakhirnya. Sambil memeluku dengan sangat erat Nico dan aku terus berpautan. Nico melepaskan ciumannya dari bibirku. Tatapannya sangat sayu. Sementara aku masih saja terus mengucurkan air mataku.
                “Aku juga mencintaimu Nic, aku sangat mencintaimu.”Aku memeluknya. Dan tanpa sadar aku tertidur di pelukan Nico.
               
                “Hmn….” Aku terbangun, dan kulihat bukan lagi bukit tempat aku dan Nico berbaring. Aku kini berada di kamarku, mungkin Nico yang mengantarkanku. Aku mengambil handphone yang berada di samping bantalku dan melihat banyak sekali panggilan dan sms yang masuk. Ketika hendak ingin mebukanya, handphone ku tiba-tiba mati.
                “Uh, bateraynya habis. Ah sudahlah..” Aku kemudian bergegas mandi karena kulirik jam sudah menunjukkan pukul enam pagi.
                Hari ini aku benar-benar sangat senang. Rasanya aku ingin berteriak karena saking senangnya. Kalian tahu kenapa?Yah, karena semalam. Karena hal-hal yang aku jalani dengan Nico semalam. Aku sudah tidak sabar ingin melihatnya di sekolah. Aku sudah tidak sabar melihat senyumannya. Pokoknya aku sangat senang hari ini.
                Sesampainya aku di sekolah, aku melihat teman-temanku di ruang kelas. Tapi tampaknya mereka sedang menagis. Tunggu! Menagis?
                “Teman-teman? Kalian kenapa?”Ku hampiri mereka.
                “Hiks… Rin… hiks Riny…. Kau yang tabah yah Rin…. Hiks…. A.. aku tahu ini pasti berat bagimu…. hiks” Cindy, sahabat baikku langsung memelukku. Apa yang terjadi? Kenapa dia begitu sedih?Kenapa?
                “Ri..ii..iinn, hiks kmu yang tabah yah.. hiks…hiks” Cindy dan yang lainya terus saja menagis tersedu-sedu. Aku juga tak bisa menahan air mataku, entah kenapa air mataku turun secara tiba-tiba.
                “Hiks.. Cin… Cindy… apa yang terjadi? Kenapa kalian begitu sedih?”
                “Rin…. Nico… hiks… Nico… dia” Cindy mengucapkannama Nico. Dan pada saat itu juga mataku sungguh sangat panas, air mataku mengalir begitu kencang. Kenapa?Apa yang terjadi pada Nico? Kenapa dadaku serasa sesak?Kenapa?
                “Kenapa Cin!! Hiks… katakan apa yang terjadi dengan  Nico!!! Hiks.Hiks.Hiks.”
                “Nico… hiks Nico… dia… me.. hiks hiks… dia meninggaaalll… Hiks Nico meniggal Rin..hiks”Badanku tiba-tiba lemas. Aku terduduk di kursi yang berada di samping Cindy. Kali ini mataku benar-benar terasa sangat panas. Tangisanku pecah…. Ini tidak mungkin
                “TIDAAK… HIKS..HIKS… CINDY KATAKAN KALAU INI SEMUA BOHONG!!! HIKS..HIKS.. KATAKAN KALAU INI BOHONG!!! HIKS… HIKS, NICO. HIKS, SEMALAM AKU DAN DIA BERKENCAN… KATAKAN KALAU KAU SEDANG BERCANDA!!! HIKS” Aku mengguncang tubuh Cindy sambil terus menangis. Ini tak mungkin... kulihat ke arah Cindy. Dia menggeleng dan tertunduk. Ini pasti bohong.. Nico
                “Itu tak mungkin Rin.. hiks… tak mungkin.. hiks… dia meninggal seminggu yang lalu… dia kecelakaan ketika mencoba menyusulmu ke gunung… hiks, hiks, hiks… mana mungkin kau dan dia berkencan semalam… hiks hiks.” Cindy memelukku yang saat ini terus menangis
                “Nic… hiks hiks… Nico… Nico hiks.”
                Ini tak mngkin padahal… padahal Nico baru saja mengatakan perasaanya semalam… padahal aku baru saja berada di dekatnya… padahal aku…. Hiks…. Aku………..






Kini aku berada di depan kuburan Nico… aku tak akan menyangka kalau seandainya itu adalah malam terakhirku bersamanya… Tetapi aku tidak meneteskan air mataku… karena aku sudah berjanji. Aku berjanji pada nico bahwa ketika tiba hari ini, hari di mana nico sudah pergi. Aku tidak akan menangis.
Nico, ku harap kau akan baik-baik saja di sana. Terima kasih atas segalanya. Aku…… aku mencintaimu…. Nico……. And thanks for that night…….




------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Normal POV
“Hmn… apa yang kau pikirkan?” Ucap sosok yang mengenakan jubah hitam, dan di punggungnya terlihat sepasang sayap yang berwarna sama juga. Malaikat
“Tidak ada” Ucap sosok pemuda yang ditanyai oleh sang malaikat.
“Kalau begitu kita harus cepat. Kita telah kehilangan banyak waktu karena permintaan terakhirmu itu.” Ucap sang malaikat
“Yah….”
“Nico, apa kau menyesal dengan permintaanmu?”
“Tidak… tidak sama sekali…. Aku malah ingin berterima kasih kepadamu… karena telah mengijinkanku menemui Riny, sehari setelah aku meninggal” Ucap Nico dengan senyuman yang sangat tulus.
“Hmn.. yah, sama-sama Nico… Tetapi kita harus segera pergi.”
“Baiklah.” Kemudian Malaikat itu memegang pundak Nico. Dan detik berikutnya mereka terangkat ke langit. Meninggalkan tempat mereka tadi… tempat dimana ada seorang Gadis perempuan yang sedang tersenyum sambil melelehkan air mata di depan sebuah batu nisan yang bertuliskan NICOLAS STEWARD.
“Selamat tinggal RINY… Aku akan sangat merindukanmu… Aku akan terus mencintaimu RIN…..” Itulah kalimat terakhir dari mulut Nico sebelum dia benar-benar menghilang di langit dengan cahaya yang sangat menyilaukan……………………………………………………..
END





Rionyx

TERROR IN THE OFFICE



TERROR IN THE OFFICE

“Selamat malam Shana. Aku duluan yah.” Ucap seorang wanita sambil melambaikan tangan kepada wanita lain yang berada di belakang meja yang di penuhi oleh berbagai peralatan kantor.
            “Yah, selamat malam juga Miko.” Balas wanita yang di panggil Shana.
             Kini di dalam sebuah ruangan yang di penuhi oleh meja-meja kerja telah sepi dan seorang gadis cantik yang bernama Shana, mungkin lebih tepatnya lagi adalah Shana Mitsui.
            “Hhhn, terpaksa harus lembur lagi.” Ucap Shana sambil mereganggkan otot-otot tangannya. Dia kemudian melirik ke arah jam dinding yang sudah menunjukan angka Sembilan. Sudah lewat dua puluh lima menit dari jam kerja normal yang ada di kantornya. Dia kemudian mulai mengetik-ngetik tuts  keyboard komputernya.
             CKLEK
             Tiba-tiba pintu ruang kerjanya itu terbuka dan kemudian dia melihat sosok seseorang.
             “OH! Pak Lichun!?” Ucap Shana yang ada sedikit nada kaget di kalimatnya itu.
             “Nona Shana, lembur lagi yah?” Ucap orang yang dipanggil Lichun itu, yang tak lain adalah satpam di kantor itu.
             “Iya pak, ini.. soalnya masih banyak pekerjaan yang harus dikerjakan.” Ucap Shana sambil tersenyum dan sedikit lebih tenang dari yang tadi.
             “Oh iya. Kalau begitu, bapak tinggal dulu yah. Soalnya bapak mau periksa lantai tujuh  dulu. Dan kalau nona Shana butuh sesuatu, jangan sungkan untuk bilang ke bapak yah. Atau nona Shana bilang saja kepada bu Chimei, dia ada di dapur.” Ucap pak Lichun sambil tersenyum dan kemudian menutup pintu setelah mendapat senyum balasan dari Shana. Sementara Shana mulai melanjutkan pekerjaanya yeng sempat tertunda.
             “hiihihihhihi” Tiba-tiba terdengar suara orang tertawa dari luar jendela yang berada di belak
ang Shana.
             “Hah!?” Shana yang terkejut reflex melirik ke arah jendela yang berada di belakannya itu. Dia tidak melihat apa-apa di sana, yang ada hanyalah hujan yang membasahi kaca jendelanya.
             “Wah, saking asiknya aku kerja, sampai tidak sadar kalau di luar sudah hujan” ucap Shana sambil berjalan ke arah jendela dan melihat keluar.
             “Hmn. Hujannya deras sekali.” Shana melirik ke kiri dan ke kanan. Setelah itu dia melihat ke bawah. Posisi ruang kerjanya yeng berada di lantai 3 memberi akses kepadanya untuk melakukan itu.
             “Lebih baik aku tutup saja tirainya.” Ucapnya sambil menarik tirai jendela itu.
             “Hmn” Shana kemudian melanjutkan pekerjaan mengetiknya.
              Malam yang sangat mencekam dengan hujan yang sangat deras. Halilintar dan Guntur yang terus bergantian.  Juga angin yang sangat dingin ini tidak melunturkan semangat Shana untuk terus bekerja. Walaupun jam yang berada di kantornya sudah menunjukan angka sebelas lewat tiga puluh menit atau setengah dua belas malam. Dengan hanya di terangi cahaya dari komputernya Shana terus melanjutkan kegiatan mengetiknya. Sesekali dia membuka mulutnya tanda bahwa dia telah mangantuk.
              “Heeh tinggal sedikit lagi.” Ucap shana sambil tersenyum.
              “Hmn aku rasa aku memerlukan sedikit pelumas untuk tenggorokanku” Ucap Shana sambil memegangi tenggorokannya yang sudah terasa sangat kering. Dia kemudian menuju ke pintu keluar dari ruang kerjanya itu.
              “Hmnn, ini benar-benar sudah sangat malam yah.” Gumam Shana dalam hatinya. Sambil memegangi botol minum miliknya, dia berjalan menyusuri korodor kantor yang benar-banar gelap.

              “Sungguh kah hanya aku saja yang bekerja lembur malam ini?” Shana bertanya pada dirinya sendiri, kerena tak seperti biasanya kantornya seperti ini. Walaupun dia hanya kadang-kadang melakukan kerja lembur, tapi dia tau betul kalau setidaknya ada orang lain yang melakukan lembur.

            “Biasannya pak Kaido selalu lembur, tapi kenapa sekarang tidak ada?” Dia berbicara tentang seseorang yang bernama Kaido, yah memang Kaido terkenal dengan kerja lemburnya. Tetapi enyah kenapa untuk sekarang ini Kaido tidak ada.

“Gelap sekali.” Shana yang merasa tidak nyaman karena kondisi lorong menuju dapur sangat gelap, mencoba menyalakan lampu yang ada.

                KLIK.. KLIK.. KLIK

                “Ugh! Kenapa tidak menyala yah!?” Shana berulang kali mencoba menyalakan lampu yang ada di lorong itu tapi hasilnya selalu sama, nihil dan hanya kegelapan yang ada.

                “Ck! Sialan!” Shana mendengus kesal melihat lampu yang sangat tidak mengerti dirinya.

                TAP..TAP..TAP

“Hah!?” Shana tersentak dengan bunyi derap langkah kaki yang berasal dari arah belakang tubuhnya. Merasa penasaran akan apa itu, dia menoleh ke belakang.

“Pak Lichun? Bu Chimei? Apakah itu kalian?” Shana mulai merasa tidak nyaman dengan kondisi ini, jantungnya mulai berdebar kencang ketika dia tak menerima jawaban.

“Hihihihihihihihihi…” Sebuah tawa wanita.

“!!!?” Shana terbelak dengan jawaban yang diberikan, yang benar-benar tak diinginkannya.

“S-si-siapa yah?” Shana berusaha menghindari rasa takutnya, dan memberanikan untuk bertanya kembali. Tangannya menggemgam erat botol minuman miliknya.
Tetapi hanya kebisuan yang diterimannya. Namun beberapa saat kemudian muncul sosok bayangan seseorang di balik kegelapan. Namun ia tak bisa melihatnya dengan jelas dikarenakan orang itu tengah membelakanginya.

“K-ka-kau siapa?” Shana memberanikan diri untuk bertanya dan kemudian mendekati orang itu.

----
“Nona Shana?”

“Ah!? Pak lichun?”
secara tiba-tiba pak lichun memukul pundaknya dari belakang.

“Nona Shana sedang apa berkaliaran di koridor malam-malam begini?” Tanya pak lichun yang saat itu tengah memegangi senter.
“Ah itu! Aku sedang berbicara dengan seseorang di sana!” Ucap shana dan kemudian menunjuk kea rah sosok bayangan tadi.

“Mana? Loh, tidak ada orang kok.” Pak lichun menyenter kea rah yang ditunjuk oleh Shana tadi, tapi dia tak menemukan apa-apa selain kekosongan.

“Ah!? Tadi aku melihat di sana ada orang kok. Tapi aku tak bisa melihatnya soalnya gelap, tapi aku benar-benar yakin kalau di sana ada orang tadi.” Shana dibuat bingung dengan keadaan ini, karena dia sangat yakin kalau dia tadi melihat seseorang.

“Hmm. Mungkin nona Shana kelelahan hingga berhalusinasi seperti itu.” Ucap pak Lichun yang melihat Shana yang sangat kebingungan.
“Ahh, tapi pak…..”

“Sudahlah nona Shana, hmn nona mau ke dapur yah?” Pak Lichun langsung mengalihkan pembicaraan karena sangat khwatri dengan keadaan Shana saat ini.

“Hmmm, yah mungkin aku memang harus minum.”

“Baiklah kalau begitu, sini bapak antarkan sampai ke dapur.” Akhirnya kedua orang itu meninggalkan lorong yang sangat gelap itu dan kemudian menuju ke arah dapur.

---------------TEROR IN THE OFFICE---------------
Dapur kantor 00:15

“Aku yakin sekali kalau aku sungguh melihat seseorang di lorong!”

“Mungkin itu hanya halusinasi anda saja nona Shana.” Ucap nona Chimei sambil meletakkan mangkuk yang berisi mie instant di depan Shana.

“Ya, lagipula tadi aku telah memriksa rekaman CCTV nya, dan tidak ada apa-apa selain nona Shana.” Kini pak Lichun yang angkat bicara, ke dua pasangan ini sangat khawatir dengan kondisi Shana saat ini, karena kelihatannya Shana sendiri sangat ketakutan.

“Haaah, yah mungkin aku yang terlalu kelelahan sampai-sampai aku berhalusinasi seperti itu.” Shana kini mecoba rileks, dan kemudian memakan hidangan yang telah disadiakan oleh bu Chimei tadi.

“WAh, ini sangat lezat bu.” Shana berhenti sejenak dari acara makannya untuk memuji masakkan yang telah dihindangkan oleh bu Chimei.

“Haha, benarkah? Kalau begitu nona Shana harus menghabiskannya. Karena kelihatannya kau lapar sekali.” Bu Chimei tersenyum ramah menanggapai pujian tulus yamg keluar dari mulut Shana.

hanya membutuhkan waktu sekitar lima belas menit saja untuk Shana menghabiskan makanannya. Dia lalu minum sepuasnya dan pergi ke toilet untuk membuang semua hasratnya, karena pikirnya, repot jika harus bolak-balik terus apalagi jarak dari ruang kerjannya sangat jauh dengan toilet. Setelah melakukan semua hal yang diperlukannya, Shana kemudian meminta ijin untuk kembali ke ruang kerjannya.

“Kalau begitu hati-hati yah Shana.” Ucap pak Lichun.
“Nak, jangan terlalu memaksakan diri yah, kalau sudah tidak mampu kau tidur saja dulu.” Kini bu Chimei yang menaruh perhatiaanya pada Shana.
“Yah baikalah, aku tidak akan terlalu memaksakan diri kali ini.”

“Bapak akan berjalan mengecek kembali, jadi kalau ada yang mengetuk pintu, itu bapak yah”

“Yah, baikalah pak, terima kasih sebelumnya, aku pergi dulu yah.” Shana kemudian pergi meninggalkan kedua pasangan itu.
Dia lalu menyusuri koridor tadi, sebenarnya ada perasaan takut dan ragu yang ada di hatinya sekarang ini, tapi sebisa mungkin dia mengabaikannya. Dengan terburu-buru, dia berjalan melintasi koridor yang menyeramkan itu.

WHUUSH

Angin berhembus dengan sangat kuat ketika dia sudah berada di tengah lorong itu, kini dia benar-benar takut. Di otaknya hanya terisi pikiran yang mengatakan kalau dia harus cepet-cepat sampai di ruang kerjanya.

BRUKK

Shana membanting pintu dengan sangat keras, kini dia telah berada di dalam ruangannya, ada suatu perasaan lega yang dia rasakan saai ini karena sudah bisa melewati koridor tadi.

“hahh- hahh- akhirnya aku bisa melewati koridor mengerikan itu juga, sialan!!” Shana merutuki dirinya sendiri, dia berpikir mengapa dia tidak megerjakan pekerjaanya di rumah saja, mengapa dia harus terjebak di kantor ini.

“Kau harus rileks Shana!! Ini akan segera berakhir!!” Shana berusaha menegarkan dirinya sendiri. Dia lalu berjalan ke arah meja kerjannya dan mulai mengetik kembali.

“Huh untungnya aku tidak menemukan sesuatu yang aneh di sini.” Shana merasa lega karena tidak ada yang aneh yang ditemukannya di meja kerjannya, seperti yang dibayangkannya dari film horror yang pernah ditontonnya.

“Huh? Perasaan sudah banyak sekali kejadian yang telah aku lewati, tapi kenapa baru jam satu pagi yah??” Shana merasa aneh dengan kondisi ini. Karena dia telah melewati banyak kejadian dari tadi.

TIK…..TIK…..TIK…..TIK

“!? Bunyi apa itu?” Shana yang tengah melihat jam tangannya berhenti karena mendengar suara yang sudah tidak asing lagi di telinganya.

“I-Ini, S-su-suara mesin K-ketik!!!” Shana terlojak kaget, karena yang dia tau, tidak ada orang lain di ruangan ini selai dia seorang, dia diam dan mendengarka suara itu lagi.

TIK..TIK..TIK..TIK

Kini suara ketikkannya semakin cepat saja, seperti orang yang terburu-buru.
Shana mencari sumber suara itu, da dia mendapati ruangan kepala timnya mengeluarkan cahaya yang agak samar dari ruang kerja kepala divisinya. Shana mulai merasa takut, karena dia tahu persis kalau ruangan itu terkunci dan tidak ada seorangpun dari dalam divisinya yang berani masuk ke dalam secara sembarangan. Shana  mengambil pena dari mejanya dan dengan dipenuhi rasa takut dia mencoba mendekati ruangan itu.

“Glek!! Ya TUHAN kumohon lindungi aku.” Shana terus berdoa sambil mendekati pintu itu sedikit demi sedikit, jantungnya kini bekerja dua kali lipat dari biasannya.

TIK.TIK.TIK.TIK.TIK.TIK.TIK

Suara ketikkan semakin cepat ketika Shana sudah berada dekat sekali dengan pintu itu, perasaan takut semakin menyelimutinya, dipengannya penanya dengan sangat erat sampai urat-urat yang berada di sekitar tangannya menjadi terlihat dengan jelas. Rasa takutnya bertambah bebarengan dengan didengarnya suara seseorang yang sedang menulis tapi ini terdengar berbeda, seakan pulpenya dipaksakkan untuk mengeluarkan tintanya.

TUK.TUK.SRECK.SRECK
Suara-suara itu semakin kuat saja dan menjadi sangat terburu-buru ketika Shana sudah berada di depan pintu itu.

“Ya TUHAN, lindungi aku, lindungi aku…………” Shana terus saja berdoa, karena rasa takut yang menyelimuinya sekarang ini sangatlah besar. Keringat segar bercucuran dari pelipisnya, dadanya berdetak dengan tak karuan. Dengan tangan yang gemetar dia meraih gagang pintu yang ada. Dengan rasa takut yang sangat luar biasa, dia mencoba membuka pintu itu.
CKLEK…..

“Pintunya tak terkunci!!!” Shana bergumam dalam hatinya. Tangnnya kini meremas erat pulpennya dan mulai mendorong pintu itu.

KRRIIIEEETTT……………..

WHUUSSSHHH

“AAAAAHHH!!!” Shana berteriak ketakutan, dikarenakan saat pintu di buka muncul angin yang sangat keras menyerangnya.

“Ya TUHAN….” Shana mulai merasakkan lemas di seluruh badannya. Tapi dia terus berusaha masuk ke dalam ruangan itu dan mendekati meja kerja.

“Apa ini!?” Shana kaget dengan apa yang di temukannya. Sebuah kata terukir di atas meja itu yang sepertinya di ukir oleh benda yang memiliki ujung yang runcing. Kata yang sama juga di temukannya di dalam computer, dan di sebuah kertas yang berada di atas keyboard computer itu. Dan tulisan itu berkata
“MATI!!!!” Shana membelakkan matanya ketika membaca tulisan itu semua.

“YA TUHAN!!!”

PRIZZT. PRIZZT. PRIZZT. PRIZZT. PRIZZT. PRIZZT. PRIZZT. PRIZZT

“Ya TUHAN apa yang terjadi sebenarnya!!!!” Shana kembali di buat kaget dengan mesin printer yang berada di ruangan itu menyala sendiri dan mencetak kata MATI KAU!!! Dan yang lebih parahnya lagi dengan tinta merah.

“HIHIHIHIHIHIHIHIHIHI!!!!!!”

“ARGH!!! AKU INGIN KELUAR DARI SINI!!!” Shana mulai histeris dan membanting pulpennya, kemudian berlari keluar, mencari pintu keluar ruang kerjannya itu.

PRIZZT. PRIZZT. PRIZZT. PRIZZT. PRIZZT. PRIZZT. PRIZZT. PRIZZT
Tiba-tiba semua printer yang berada di situ menyala dan mencetak kata MATI KAU!!!!
 
“TOLOOOONG!!! KELUARKAN AKU DARI SINI!!!” Shana mengis histerissambil mecoba membuka pintu yang entah kenapa telah terkunci.

“HIHIHIHIHIHIHIHIHIHI!!!!!!” Suara itu terdengar kembali berbarengan dengan munculnya tulisan di pintu yang berkata KAU AKAN MATI!!!!

“AAAAHHH!!!!!” Shana terduduk ketika melihat tulisan itu, dan dengan susah payahnya dia merangkak ke arah mejanya

PRIZZT. PRIZZT. PRIZZT. PRIZZT. PRIZZT. PRIZZT. PRIZZT. PRIZZT
“HIHIHIHIHIHIHIHIHIHI!!!!!!”

“HENTIKKANNN!!!!!!” Shana menutup telinganya.

KRIIIETTT!!!!

Tiba-tiba pintu itu terbuka dengan pelan.

“HAH!?!?!?” Mata Shana terbelak dengan sosok yang muncul dari balik pintu itu. Sosok hitam yang sangat menyeramkan dengan mata yang besar berwarna merah meyala, dan rambut yang menutupi hamper seluruh wajahnya. Berjalan mendekati Shana.

“TIDAK!!!!!” Shana berteriak dengan sangat keras, tapi hasilnya nihil, sosok itu sudah sangat dekat denga Shana.

“PERRGIIIIIIII!!!!!!!!” Shana berteriak. Tapi sosok itu sudah sangat dekat dengannya, dan kemudian sosok itu mencekik Shana samil menatapnya dengan mata merahnya.

“TIIDAAAKKKKAAAHHH!!!!”

“MATI KAU!!”



bersambung…………..



Rionyx