Minggu, 24 Mei 2015

Summer Girl

“But you’ll always be my golden boy
And I’m the summer girl you enjoyed
Some melodies are best left undone
I feel the times pass away
But in my songs you’ll always stay
I don’t need you to tell me that I’m the one
You never know that I was the one.”
The One

Sebuah mobil melintas melewati jalan satu jalur berlatar belakang sebuah pantai yang sangat indah. Burung-burung bangau berterbangan melewati cahaya matahari yang begitu teriknya. Dari dalam mobil itu, Seorang perempuan melihat ke luar jendela. Dia tersenyum kecil, menunjukkan ekspresi tidak sabarnya untuk bisa bermain-main di pantai itu. Bagaikan sebuah penantian yang amat panjang, akhirnya waktunya tiba juga untuknya berada di sini, tempat yang selalu dia kunjungi bersama keluarganya. Hanya ketika liburan musim panas.

Mereka berhenti di depan rumah sederhana yang tepat menghadap ke arah pantai. Si pemilik rumah keluar dengan antusias menyambut tamu tahunan mereka itu.

“Akhirnya sampai juga, Bibi sudah menunggu dari tadi.”

“Hehehe.. Bibi Lena, Apa kabar?”

“Sangat baik, Lisa. Apalagi setelah kedatangan kalian.” Ucap Bibi Lena sembari ikut membantu mengangkat tas-tas yang diambilnya dari bagasi mobil.

“Dimana Ronald?” Tanya wanita separuh baya yang sangat mirip dengan Bibi Lena.

“Dia bilang mau mengurusi lomba voli pantai yang akan dilaksanakan beberapa hari lagi. Dia salah satu panitianya.” Bibi Lena menghembuskan nafas. “Dia titip salam, tidak bisa menyambut kedatangan kalian.”

“Oh, begitu. Tidak apa-apa lah.” Mereka berdua lalu berjalan masuk ke dalam rumah. “Oh iya, Lisa, tolong kamu bawa tas Robby, ya!”

“Iya, Ma!”

Lisa yang masih berada di dekat mobil langsung berjalan ke arah bagasi. Tapi, ngomong-ngomong, di mana adiknya itu. Lisa melihat ke sekeliling. Pandangannya berhenti setelah dia berhasil menemukan siapa yang dicarinya. Adiknya itu, sedang bersama seseorang. Seorang Lelaki yang sangat dia kenal. Dia sedang menunjukkan freestyle dengan bola yang dipantul-pantulkan menggunakan punggung kakinya. Laki-laki itu menghentikan gerakannya tiba-tiba setelah dia menyadari ada Lisa yang sedang menatap ke arahnya. Lisa tersenyum sambil melambai kecil.

“Besok akan kakak tunjukkan lagi ya, gerakan yang lain.” Bisik lelaki itu sembari mengusap rambut bocah laki-laki kecil yang berada di sampingnya. Bocah laki-laki itu mengangguk semangat. Lalu dia berlari masuk ke dalam rumah.

Lisa mengarahkan pandangannya mengikuti arah kemana adik satu-satunya itu berlari. Lalu kembali menatap lelaki yang seumuran dengannya itu, yang berada tak jauh di depannya. Mereka berdua tersenyum.



“Lama sekali rasanya. Tapi kelihatannya tidak ada yang berubah dengan kamu, ya.”

“Masa? Aku tambah tinggi, lho. Dan kamu, masih suka main bola?”

“Iya. Aku sudah sangat serius dengan bidang ini.” Lelaki itu menatap ke arah bola yang digenggamnya sedari tadi. “Jangan heran lagi kalau nanti kamu melihat aku menjadi pesebak bola professional di tv.”

“Haha.. Aku akan selalu mendukungmu.” Sambil tersenyum. Lisa menunduk sesaat. Ada yang ingin sekali dia tanyakan. Pertanyaan yang selalu berkutat di pikirannya. Apakah selama ini kamu menungguku, Aldy?

“Aku senang kamu kembali ke sini.”

Lisa terdiam sejenak. “Benarkah?” Lisa sangat senang mendengar ucapan itu. Senang sekali. “Aku juga..”

“Lisa!!” Terdengar teriakan dari dalam rumah.

Lisa memutar kedua bola matanya. “Iya, Ma! Sebentar.”

Aldy beranjak bangun. “Well, besok aku akan ke sini lagi.”

“Baiklah.”

“Bye, Lisa!” Aldy berlari meninggalkan teras rumah Bibi Lena.

“Bye..”

Lisa masuk ke dalam. Mamanya sedang sibuk mengeluarkan barang-barang dari dalam koper.

“Tuh, kan, Mama bawa barangnya kebanyakan, sih. Kita kan tidak lama di sini, Ma.”

“Sudahlah, ayo bantu Mama, cepat.”

Lisa membawa beberapa tumpukan baju ke dalam kamar yang akan ditempati oleh Mama dan Papanya. Lalu dilanjuti membuka koper berisi baju-baju kepunyaannya. Tapi, dia menutupnya lagi. Dia memutuskan untuk membereskan baju-bajunya itu di dalam kamarnya saja.

“Kamarku yang di atas, kan?”

“Iya, sayang.”

Lisa mengangkat kopernya ke atas, lalu masuk ke dalam kamar. Kamarnya tidak terlalu besar, tapi sangat nyaman. Apalagi dengan pemandangan ke luar jendela yang langsung mengarah ke laut. Tentram sekali. Lisa mengeluarkan bajunya satu-persatu, lalu memasukkannya ke dalam lemari.

Setelah selesai, dia merebahkan badannya di atas kasur. Dia menghembuskan nafas pelan. Tersenyum puas. Dia mengingat-ngingat pertemuannya dengan Aldy tadi. Rasanya senang sekali bisa melepaskan rasa rindu yang sudah lama tertahan.

Lalu terdengar suara Mama memanggilnya untuk makan malam.

Ada banyak sekali makanan. Hemm.. dengan wangi yang sangat menggairahkan. Rasanya Lisa ingin sekali melahap itu semua.

“Tadi itu siapa?” Mama bertanya ke Lisa. “..yang duduk di depan teras bersamamu?”

Lisa menelan makanannya, lalu menjawab. “Itu Aldy, Ma.”

“Dia dari dulu memang sering bermain di sini, kan, masa kamu lupa?” Bibi Lena menimpali.

“Oh, Aldy. Aku hampir tidak mengenalinya. Dia sudah besar, ya.”

“Anak dari keluarga Jonathan itu, kan? Aku dengar-dengar dia itu sangat berbakat.”

“Iya, Pa. Kak Aldy jago main bola. Tadi dia nunjukin gerakan-gerakan hebatnya ke Robby” Ujar Robby sambil mengunyah makanannya. “Hebat banget.”

Lisa hanya tersenyum. Tidak tahu kenapa, rasanya senang sekali keluarganya juga mengenal dekat Aldy.



“Aku kan sudah bilang, aku yang akan ke rumahmu hari ini.”

“Tapi, tiba-tiba saja aku ingin sekali berkunjung ke sini.”

Aldy tersenyum miring. “Ya sudah, ayo masuk.”

“Sepi. Tidak ada orang?” Lisa melihat ke sekelilingnya. Rumah mungil itu memang terlihat sepi sekali.

“Iya. Semuanya keluar. Aku juga baru saja mau keluar untuk mengunjungimu, tapi kamu sudah datang duluan.”

Aldy mengantar Lisa masuk ke dalam ruang tengah. Rumah Aldy jauh lebih dekat dengan pantai. Jadi, dengan duduk di ruang tengah seperti ini saja, angin sepoi-sepoi sudah menemani. Jauh lebih tentram dari kamar yang ditempati Lisa. Mungkin itulah sebabnya dia ingin berkunjung ke sini.

“Kamu masih ingat ini?” Aldy mengambil salah satu kaset dan menunjukkannya kepada Lisa.

Ahh, kaset pemberianku. “Tentu saja. Bagaimana? Kamu menyukainya?”

“Ada satu lagu yang menjadi favoritku.” Aldy memasukkan kaset itu ke dalam tape, lalu memutarkan lagu yang dimaksudkannya tadi.

Two of us, The Beatles. Lisa berfikir sejenak. “Kenapa kamu menyukainya?”

“… You and me Sunday driving, not arriving, on our way back home …” Aldy menyanyikan lagu itu, mengikuti irama yang dinyanyikan oleh Paul McCartney. “Aku suka liriknya.”

“Apa yang.. ehmm.” Lisa tidak jadi melanjutkan kalimatnya. “Maksudku, apa lagi lagu yang kamu suka?” Lisa menghembuskan nafas lega. Tidak seharusnya dia mengeluarkan pertanyaan apa yang dipikirkannya pertama kali tadi. Apa yang kamu pikirkan ketika mendengar lagu itu? Apakah kamu memikirkan aku? Pertanyaan yang bodoh.

“Sebenarnya aku suka semua. Tapi lagu inilah yang paling aku suka.”

Lisa dan Aldy terus mengobrol, menceritakan tentang kehidupan mereka masing-masing, menceritakan masa-masa kecil mereka, sejak pertemuan pertama mereka sampai sekarang.

“Aldy, ke pantai, yuk.” Sembari mengarahkan pandangannya ke pantai.

“Udah sore.”

“Tidak apa. Lihat sunset kayaknya asik.” Lisa menatap Aldy sambil tersenyum penuh harap.



Mereka berjalan bersampingan di pinggir pantai. Sepi sekali. Kicauan burung dan desiran ombak laut menemani mereka. Sebentar lagi matahari terbenam. Mereka tetap berjalan perlahan-lahan meninggalkan bekas jejak kaki mereka di pasir.

Lisa sudah mulai mengerti apa yang dirasakannya. Dia sudah cukup besar untuk memahami perasaan itu. Tapi yang tidak dia mengerti adalah, bagaimana perasaan lelaki yang di sampingnya itu terhadapnya. Ingin sekali dia bertanya, ingin sekali.

“Aldy.”

“Iya, Lisa?”

“Kamu tahu kan? Tahun ini aku akan masuk ke universitas.” Lisa terdiam sejenak untuk mengumpulkan kata-kata. “Mungkin ini akan menjadi musim panas terakhirku di sini.”

Aldy menghentikan langkah kakinya. Dia tidak bisa menutupi ekspresi terkejutnya itu. Dia menatap Lisa dalam-dalam. Lalu membuang pandangannya untuk menatap ujung laut.

Apa maksudnya itu? Apakah dia sedih? Atau apa? Katakanlah sesuatu, Aldy!

“Aku akan kuliah di sebuah universitas di Loudylage. Jadi, aku juga akan pindah ke daerah sana. Tidak tinggal bersama kedua orangtuaku lagi.”
Keheningan menyelimuti mereka. Aldy yang membelakangi Lisa hanya terdiam.
“Aldy?” Please..

“Loudylage itu kota yang sangat indah. Sepupuku pernah berlibur ke sana. Dia bilang Loudylage tidak sepanas di sini. Dan, sangat menyenangkan, katanya.”

Lisa mencoba untuk mencerna ucapan dari lelaki itu. Bukan itu, bukan ucapan seperti itu yang Lisa harapkan dia dengar dari Aldy. Hanya itu kah yang bisa kamu katakan?

Lisa menunduk. Dia tidak bisa menahan bendungan air mata yang tiba-tiba sudah keluar dari kedua bola matanya. Dia tidak mengerti. Atau mungkin dia berharap terlalu banyak pada lelaki itu.

“Jagalah dirimu baik-baik, ya” Aldy membalikkan badannya. Dia terkejut melihat perempuan yang di hadapannya sedang menangis. “Lisa.. Kenapa?”

Jika kamu memang tidak bisa mengatakan menyukaiku, Katakanlah kamu tidak ingin aku pergi. Katakanlah kamu tidak ingin kita berpisah dan tetap bersama selamanya. Atau mungkinkah..

Aldy memeluk Lisa. Dan mengusap punggung perempuan itu perlahan-lahan. Mereka tidak menyadari kehadiran matahari terbenam yang sangat indah di sore itu.

..kamu terlalu takut sehingga tidak bisa mengatakannya kepadaku.





Writer : Rionyx

Tidak ada komentar:

Posting Komentar