Selasa, 26 Mei 2015

Biarlah aku yang mengalah

Malam yang sejuk mengiringi kesepianku. Angin malam turut membelai lembut rambutku. Menemaniku yang tengah sendiri menatap indahnya bumi. Sebagai teman paling setia dikesendirianku dalam ketidakadilan ini.

“Oh Tuhan, kapan semuanya akan berubah?” tanyaku dalam pengharapan.



Tiba-tiba pintu kamarku diketuk dengan cukup pelan.

“pasti bi Imah.” Tebakku

“iya, sebentar!” sahutku sembari berjalan dari serambi kamar.

“Maaf non, waktunya makan malam. Yang lain sudah ngumpul dibawah.” Ucap Bi Imah saat pintu kamarku terbuka.

“ok bi Dera juga udah lapeer banget.” Candaku padanya.

Bi Imah adalah seseorang yang merawatku sejak lahir. Bagiku, ia sudah seperti Ibu kandungku. Dirumahku, hanya Bi Imah yang peduli dengan keadaanku. Disaat aku sakit, hanya ia yang selalu repot menyiapkan obat, hanya ia yang selalu tahu betapa sedihnya aku disaat nilai raportku jauh dari nilai kak Dara. Hanya ia yang tahu betapa aku ingin seperti kak Dara, saudara kembarku.

****





Biarkan Aku yang Pergi

“wah ada ayam bakar nih. Heem maknyus” ucapku seraya menduduki kursi favoritku.

“dasar gak sopan…” sindir Ayah padaku.

“makanya, jangan nyerocos aja dong jadi cewek.” Timpal kakakku, Virgo.

“iya Dera, kamu duduk dulu baru ngomong, kan ada Papa sama Mama disini. Jadi sopan dikit Ra.” Tambah Kak Dara.

“iya Dera, betul tuh kata Dara. Contoh dia.” Tambah Ibu lagi.

“ok, aku pergi. Silahkan makan!!” ucapku dengan sinis.

Akupun bergegas naik menuju kamarku tanpa sedikitpun menyentuh makanan disana. Padahal sebenarnya maagku kambuh dan rasanya sangat perih. Tapi lebih perih lagi disaat aku tak pernah mendapatkan kasih sayang dari semua orang yang aku sayangi.

****



Matahari menjelma masuk kedalam kamarku yang pemiliknya masih tertidur lelap. Hingga aku terbangun karena silaunya sinar yang menerpa mataku.

“humh, udah pagi to” ucapku pada diri sendiri,



Aku bergegas mandi dan memakai pakaian sekolahku. Dengan aksesoris biru yang lengkap. Pagi ini, aku tak ingin sarapan. Aku hanya mengunjungi Bi Imah yang ternyata sedang menyiapkan bekal untukku.

“makasih ya Bi, Dera sayang Bibi.” Ucapku dengan tulus padanya

“iya non, Bibi juga sayangg banget sama non Dera, semangat ya Non sekolahnya.” Sahut bi Imah menyemangati.

Setibanya disekolah, aku segera menuju ruangan tempatku ulangan. Jadwal hari ini adalah matematika dan bahasa inggris. Pelajaran menghitung yang sangat menyebalkan untukku. Karena aku tak seperti kak Dara yang jago menghitung. Dugaanku tepat, soal kali ini susahnya minta ampun. Hingga kertas ulanganku hampir tak terisi. Namun kalau bahasa inggris, inilah kehebatanku. Semua soal dapat kukerjakan dengan mudah. Karena sejak kecil aku sudah sangat hebat berbahasa inggris. Seperti Om Frans dan Tante Siska yang semasa di Jakarta sangat menyayangiku jauh lebih besar dari orang tua kandungku. Namun kini mereka telah pindah ke Amerika dengan anaknya, Dimas.

****



Waktu seakan berjalan dengan sungguh cepat, kini saatnya pembagian hasil belajar siswa. Kebetulan, aku dan kak Dera berbeda kelas dan sekolah. Kalau aku masih berada dikelas satu SMA, sedangkan ia sudah berada dikelas dua. Semua terjadi karena aku pernah tak naik kelas sewaktu disekolah dasar. Kalau kak Dara sengaja Papa sekolahkah di sekolah terfavorit di Jakarta, sedangkan aku bersekolah di SMA yang didalamnya hanyalah siswa buangan dari sekolah lain yang tidak menerima kami. Karena nilaiku tak sehebat nilai kak Dara dan Kak Virgo. Mereka memiliki IQ yang jauh lebih tinggi daripada aku.

“Pa, ambilin raport Dera ya.” Pintaku

“Papa sudah janji sama Dara kalau Papa yang akan mengambilkan raportnya. Kalian kan beda sekolah.” Jawab Ayahku.

“Ma, ambilin raport Dera ya!” pintaku lagi pada Mama.

“Mama udah janji sama Virgo ngambilib raportnya, dia kan sudah kelas tiga jadi harus diwakilin.” Jawab Mama.

“oh gitu ya.” Balasku dengan kecewa.



Aku hanya bisa menangis sendirian didalam kamar. Tidak ada satu orangpun yang mau mengambilkan raportku. Jalan terakhir adalah Bi Imah. Dan tentu saja ia sangat mau mengambilkan raportku.

“Gimana bi hasilnya?” tanyaku dengan penasaran

“Non Dera juara 1 non.” Ucap bi Imah dengan semangat.

“hah? Beneran bi?” sahutku tak kalah semangat.

Ternyata usahaku tak sia-sia, akhirnya aku bisa menyamai prestasi kak Dara.

****



Setibanya dirumah, semua orang yang sedang tertawa ria melihat hasil belajar kak Dara dan kak Virgo menjadi terdiam disaat kedatanganku dan Bi Imah.

“gimana hasilnya Ra?, pasti jelek.” Ucap kak Virgo menyindirku.

“gak ko, aku juara 1.” Ucapku dengan semangat.

“ah, juara 1 disekolahmu pasti juara terakhir dikelas Dara.” Ledek Ayah padaku.



Aku kecewa, benar-benar kecewa karena semua prestasi yang kuraih tak penah dihargai sama sekali. Dengan kecewa aku berlari menuju kamarku, kuratapi semua ketidakadilan ini. Aku tidak keluar kamar selama dua haripun tak ada yang peduli. Semua orang dirumah hanya sibuk dengan pekerjaannya masing-masing, tak terkecuali Bi Imah yang hampir setiap jam membujukku untuk keluar. Maagku kambuh, rasanya teramat perih dari yang biasanya.

“oh Tuhan, kuatkan aku!” pintaku



Dihari ketiga aksi diamku dikamar, tiba-tiba rumahku terdengar sebuah suara yang sangat kukenal. Ternyata hari ini, keluarga Om Frans sudah tiba di Jakarta untuk berlibur bersama keluarga kami.

“Dimas? Aku merindukanmu.” Ucapku dengan tertunduk lesu dikamar.

Aku keluar kamar untuk menemuinya, namun ternyata ia sudah berubah dan tak peduli lagi padaku. Semuanya benar-benar berubah, dan kini janjinya ia ingkari untuk menemuiku. Penantianku sia-sia, semua orang telah membenciku dan menjauhiku. Aku sendirian dirumah, bi Imah pulang kekampung karena anaknya sakit. Sedangkan yang lain sedang makan malam dihotel. Dan aku? Tertinggal disini.

****



Aku hanya makan dan terus memasukkan roti berselai srikaya kemulutku. Sedangkan yang lain asyik berbincang-bincang dengan topic kak Dara dan Dimas. Yang aku tahu, mereka terus membanggakan dua orang yang berprestasi tersebut. Hingga Om Frans dan Tante Siska juga turut berubah padaku. Semua orang mengucilkanku disini. Sesudah sarapan pagiku habis, aku segera pamit menuju taman belakang yang ternyata disana ada kak Dara dan seseorang yang sangat aku sayangi, kak Dimas. Disana, aku sedang melihatnya memberikan setangkai mawar pada kak Dara. Ternyata mereka sudah jadian dan aku tahu, bahwa kak Dimas telah melupakanku.

****



Akhirnya, hari yang telah lama kunantikan tiba juga. Hari ini, pertandingan karateku akan berlangsung. Namun sayang, semua orang yang kusayang tak ada yang mau hadir disini. Semuanya memilih hadir dilomba kak Dara, olimoiade sains. Walau sedikit kecewa, akan kubuktikan bahwa aku adalah Dera yang hebat. Keinginanku terwujud, aku menang dan meraih juara satu dipertandingan karate nasional yang diadakan di Jakarta.

“kita panggil, juara nasional karate tahun ini. Alderaya Zivanna dari Jakarta.” Panggil pembawa acara.

Dengan diiringi tepuk tangan meriah, ku naiki podium kebesaranku, dan kurasakan aku sangat dihargai disini.

****



Setibanya dirumah, kuletakkan foto keberhasilanku diruang tamu, namun disaat kedatangan kak Dara dan yang lainnya, kulihat kemurungan disana. Dan setelah melihat foto keberhasilanku, kak Dara malah menangis dan berlari menuju kamarnya.

“kamu sengaja meledek Dara?” Tanya Papa dengan sinis.

“gak pa! maksud Papa apa sih?” tanyaku tak mengerti.

“Dara kalah sedangkan kamu menyombongkan diri dengan memajang fotomu diruang ini. kamu tahu kan bahwa diruang ini hanya foto-foto keberhasilan Dara yang boleh menempatinya.” Jawab Papa yang membuatku sangat kecewa.

“Lepas Fotomu!” ucap Mama dengan agak ketus padaku.



Kulepas foto yang sangat aku harapkan menjadi penghubung agar keluargaku menyanjungku. Sebuah harapan yang sejak dulu selalu ku inginkan. Karena aku selalu iri disetiap kak Dara dipuji dan disanjung oleh papa dan mama, serta semua tamu yang pernah berkunjung kerumahku. Sekarang pertanyaan terbesarku adalah,

“apakah aku anak kandungmu Ma? Pa?”

Pertanyaan yang tak pernah terjawab oleh lisan, namun terjawab oleh perbuatan mereka padaku. Seorang anak yang selalu tersingkirkan oleh ketidakadilan.

****



Hari demi hari terus berganti, dan semenjak itu pula kak Dara menjadi seseorang yang terpuruk. Aku bisa merasakan perasaannya yang tertekan karena ia kalah diolimpiade. Yang kutahu, saudara kembarku ini terlihat lemah dari yang biasanya.

“Udahlah kak, gak ada gunanya ditangisin terus.” Ucapku menyemangati.

“udahlah Ra, kamu senang kan ngeliat aku kaya gini? Kamu senang kan ngeliat aku kalah?” jawabnya dengan menangis.

“gak ka, gak. Aku gak pernah ada niatan kaya gitu.” Sahutku.

“udahlah, pergi kamu dari kamarku, pergi…” ucapnya terpotong karena akhirnya ia terjatuh tepat didepanku.

“Pa, Ma, tolong kak Dara. Kak Dara pingsan Pa!” beritahuku

“apa? Kamu apain sih dia?” Tanya Papa sinis padaku.

“aku, aku gak ada ngapa-ngapain dia pa.” sahutku dengan menyembunyikan kesakitanku.

“pasti penyakitnya kambuh lagi pa, ayo cepat kita bawa kerumah sakit.” Ucapku pada Papa.

****



Hari ini tepat seminggu sebelum ulang tahunku dengan kak Dara. Aku takut kehilangannya, saudara kembarku yang sangat aku sayangi. Dokter bilang bahwa ginjalnya sudah benar-benar rusak. Yang aku tahu, kini ginjalnya hanya satu setelah setahun yang lalu satu ginjalnya sudah diangkat. Sedangkan aku masih mempunyai dua ginjal.

“hanya saudara kembarnya yang ginjalnya cocok dengan Dara. Jadi usahakan dengan secepat mungkin diadakan pencangkokan ginjal Pak” beritahu dokter pada Papa.



Setelah itu, aku menjadi sasaran semua orang yang menyayangi kak Dara. Semuanya memintaku untuk mendonorkan satu ginjalku padanya. Niatku memang sudah bulat bahwa aku akan mendonorkan kedua ginjalku pada kak Dara, tapi aku tak ingin ada yang tahu semuanya. Karena aku tidak mau mereka akan menyayangiku karena bersimpati denganku yang telah memberikan satu ginjal pada saudaraku. Aku hanya ingin kasih sayang tulus dari mereka, entahlah bagaimana caranya agar aku mendapatkannya.

“ah sudahlah Dera, kamu memang saudara yang kejam. Hanya menyumbangkan satu ginjal saja tidak mau. Untunglah ada seseorang yang baik hati yang mau menyumbangkannya pada Dara.” Ucap Papa

“aku kecewa sama kamu Dera, tega ya kamu sama kakak kamu sendiri.” Ucap Dimas dengan kecewa padaku.

“siapa yang mendonorkan ginjalnya Pa?” Tanya kak Virgo.

“entahlah, pendonor itu tidak mau diberitahu namanya. Bahkan ia memberikan dua ginjalnya dengan gratis pada Dara. Dia benar-benar berhati malaikat.” Jawab papa.

“andaikan kalian tahu kalau itu aku? Apakah aku akan diberi penghargaan dari Papa?” gumamku dalam hati.

****



Beberapa jam sebelum operasi pencangkokan dilakukan, aku menulis sebuah surat untuk semua orang yang aku sayangi. Entahlah, aku merasa akan meninggalkan mereka semua. Rasanya, aku sudah sangat lelah dengan hidupku sendiri. Sesudah selesai ku tulis, surat itu kutitipkan pada Bi Imah. Akupun berangkat menuju rumah sakit untuk segera menjalani operasi.



@ ruang operasi

Ruang ini tersasa begitu menakutkan. Semua benda yang kulihat hanyalah jarum suntik dan gunting. Alat-alat yang terlihat menakutkan bagiku. Aku dibawa lebih dulu keruang ini, agar tidak ada yang tahu siapa aku sebenarnya. Posisiku dan kak Dara dipisahkan oleh dinding pembatas. Hingga akhirnya aku dibius, dan kurasakan semuanya gelap.

****



Seminggu kemudian. . . .

“akhirnya kamu sembuh juga sayang. Mama khawatir banget sama kamu sejak kamu dioperasi. Untung ada pendonor itu.” Ucap Mamanya dengan penuh kasih sayang.

“Dan Happy Brithday Dara…” ucap semua orang serentak

“Makasih ya semuanya. Aku senanggg banget. Oya, Dera mana ya Ma? Gak tau kenapa Dara kepikiran dia terus. Hari ini kan ulang tahun kami” Sahut Dara.

“iya ya? Mana dia Bi?” Tanya Ibunya pada Bi Imah

“Sebentar nyonya.” Jawab Bi Imah dengan berlari menuju kamar Dara.



Dan beberapa menit kemudian sudah tiba dengan membawa sepucuk surat.

“ini surat dari Non Dera sebelum pergi.” Beritahu Bi Imah.

Walau agak heran, Ibunya pun membacanya dengan agak keras.

Untuk semua orang yang sangaaat Dera sayang

Mungkin saat kalian baca surat ini Dera gak ada lagi disini. Dera udah pergi ketempat yang saangaat jaauh. Oya, gimana kabar kak Dara? Gak sakit lagi kan? Semoga ginjalku dapat membantumu untuk meraih semua mimpi-mimpimu yang belum terwujud.



Teruntuk PAPA yang SANGAT KURINDUKAN

Gimana Pa? rumah kita udah tenang belum? Gak ada yang gak sopan lagi kan? Oh pasti gak ada dong ya? Ya iyalah, Dera si pembuat onar kan udah gak ada.



Teruntuk MAMA yang SANGAT-SANGAT KU RINDUKAN

Ma, Dera pasti akan sangat rindu dengan teddy bear pemberian Mama lima tahun yang lalu. Ma, Dera kangeeen banget pelukan Mama. Dera selalu iri saat Mama hanya mencium kak Dara disaat ia tidur. Dera iri melihat Mama yang selalu menyemangati kak Dara disaat ia sedang sedih. Dera iri dengan semua perhatian yang Mama berikan pada kak Virgo dan kak Dara. Dera sangaat iri.



Teruntuk KAK VIRGO dan saudara kembarku, DARA

Gimana kak, gak ada lagi kan yang ganggu kalian belajar? Gak ada lagi kan yang nyetel music keras-keras dikamar? Pasti rumah kita tenang ya, pastinya gak akan ada lagi yang akan membuat kalian malu karena punya saudara yang bodoh bukan? Oh, pastinya. Oya, SELAMAT ULANG TAHUN YA KAK, SELAMAT MENJALANI UMURMU YANG KE-17 TAHUN. Yang mungkin takkan pernah aku rasakan.



Kalian semua harus tau, betapa AKU SANGAT MENYAYANGI KALIAN. Mungkin dengan kepergianku, smeuanya akan tenang dan rumah kita menjadi tentram. Dera harap, gak aka ada lagi yang terkucilkan seperti Dera. Yang selalu menangis setiap malam. Yang selalu merindukan hangatnya kekeluargaan. Mungkin dengan kepergian ini, aku akan tahu bagaimana kalian akan mengenangku, seperti akuyang selalu mengenang kalian setiap malam dengan tangisan. . . Semoga KALIAN SEMUA BAHAGIA TANPA DERA, AAMIIN.

Salam rindu penuh tangis bahagia



Alderaya Zivanna

Semua yang mendengar menangis. Mereka bertanya-tanya pada Bi Imah dimana Dera. Namun tiba-tiba telepon rumah berbunyi..

“iya, saya Hermawan, ada apa ya?” Tanya Papanya dengan penasaran.



Dan sesaat kemudian Papanya menangis dan segera mengajak anggota keluarganya ke Rumah sakit. Dan mereka terlambat, Dera telah pergi untuk selama-lamanya. Dan menginggalkan berjuta penyesalan disetiap tangis yang jatuh. Kini, ia telah tenang dan jauh dari ketidakadilan selama hidupnya. Walau air mata tengah menangisinya yang telah pergi untuk selama-lamanya. . .

The End

Minggu, 24 Mei 2015

Summer Girl

“But you’ll always be my golden boy
And I’m the summer girl you enjoyed
Some melodies are best left undone
I feel the times pass away
But in my songs you’ll always stay
I don’t need you to tell me that I’m the one
You never know that I was the one.”
The One

Sebuah mobil melintas melewati jalan satu jalur berlatar belakang sebuah pantai yang sangat indah. Burung-burung bangau berterbangan melewati cahaya matahari yang begitu teriknya. Dari dalam mobil itu, Seorang perempuan melihat ke luar jendela. Dia tersenyum kecil, menunjukkan ekspresi tidak sabarnya untuk bisa bermain-main di pantai itu. Bagaikan sebuah penantian yang amat panjang, akhirnya waktunya tiba juga untuknya berada di sini, tempat yang selalu dia kunjungi bersama keluarganya. Hanya ketika liburan musim panas.

Mereka berhenti di depan rumah sederhana yang tepat menghadap ke arah pantai. Si pemilik rumah keluar dengan antusias menyambut tamu tahunan mereka itu.

“Akhirnya sampai juga, Bibi sudah menunggu dari tadi.”

“Hehehe.. Bibi Lena, Apa kabar?”

“Sangat baik, Lisa. Apalagi setelah kedatangan kalian.” Ucap Bibi Lena sembari ikut membantu mengangkat tas-tas yang diambilnya dari bagasi mobil.

“Dimana Ronald?” Tanya wanita separuh baya yang sangat mirip dengan Bibi Lena.

“Dia bilang mau mengurusi lomba voli pantai yang akan dilaksanakan beberapa hari lagi. Dia salah satu panitianya.” Bibi Lena menghembuskan nafas. “Dia titip salam, tidak bisa menyambut kedatangan kalian.”

“Oh, begitu. Tidak apa-apa lah.” Mereka berdua lalu berjalan masuk ke dalam rumah. “Oh iya, Lisa, tolong kamu bawa tas Robby, ya!”

“Iya, Ma!”

Lisa yang masih berada di dekat mobil langsung berjalan ke arah bagasi. Tapi, ngomong-ngomong, di mana adiknya itu. Lisa melihat ke sekeliling. Pandangannya berhenti setelah dia berhasil menemukan siapa yang dicarinya. Adiknya itu, sedang bersama seseorang. Seorang Lelaki yang sangat dia kenal. Dia sedang menunjukkan freestyle dengan bola yang dipantul-pantulkan menggunakan punggung kakinya. Laki-laki itu menghentikan gerakannya tiba-tiba setelah dia menyadari ada Lisa yang sedang menatap ke arahnya. Lisa tersenyum sambil melambai kecil.

“Besok akan kakak tunjukkan lagi ya, gerakan yang lain.” Bisik lelaki itu sembari mengusap rambut bocah laki-laki kecil yang berada di sampingnya. Bocah laki-laki itu mengangguk semangat. Lalu dia berlari masuk ke dalam rumah.

Lisa mengarahkan pandangannya mengikuti arah kemana adik satu-satunya itu berlari. Lalu kembali menatap lelaki yang seumuran dengannya itu, yang berada tak jauh di depannya. Mereka berdua tersenyum.



“Lama sekali rasanya. Tapi kelihatannya tidak ada yang berubah dengan kamu, ya.”

“Masa? Aku tambah tinggi, lho. Dan kamu, masih suka main bola?”

“Iya. Aku sudah sangat serius dengan bidang ini.” Lelaki itu menatap ke arah bola yang digenggamnya sedari tadi. “Jangan heran lagi kalau nanti kamu melihat aku menjadi pesebak bola professional di tv.”

“Haha.. Aku akan selalu mendukungmu.” Sambil tersenyum. Lisa menunduk sesaat. Ada yang ingin sekali dia tanyakan. Pertanyaan yang selalu berkutat di pikirannya. Apakah selama ini kamu menungguku, Aldy?

“Aku senang kamu kembali ke sini.”

Lisa terdiam sejenak. “Benarkah?” Lisa sangat senang mendengar ucapan itu. Senang sekali. “Aku juga..”

“Lisa!!” Terdengar teriakan dari dalam rumah.

Lisa memutar kedua bola matanya. “Iya, Ma! Sebentar.”

Aldy beranjak bangun. “Well, besok aku akan ke sini lagi.”

“Baiklah.”

“Bye, Lisa!” Aldy berlari meninggalkan teras rumah Bibi Lena.

“Bye..”

Lisa masuk ke dalam. Mamanya sedang sibuk mengeluarkan barang-barang dari dalam koper.

“Tuh, kan, Mama bawa barangnya kebanyakan, sih. Kita kan tidak lama di sini, Ma.”

“Sudahlah, ayo bantu Mama, cepat.”

Lisa membawa beberapa tumpukan baju ke dalam kamar yang akan ditempati oleh Mama dan Papanya. Lalu dilanjuti membuka koper berisi baju-baju kepunyaannya. Tapi, dia menutupnya lagi. Dia memutuskan untuk membereskan baju-bajunya itu di dalam kamarnya saja.

“Kamarku yang di atas, kan?”

“Iya, sayang.”

Lisa mengangkat kopernya ke atas, lalu masuk ke dalam kamar. Kamarnya tidak terlalu besar, tapi sangat nyaman. Apalagi dengan pemandangan ke luar jendela yang langsung mengarah ke laut. Tentram sekali. Lisa mengeluarkan bajunya satu-persatu, lalu memasukkannya ke dalam lemari.

Setelah selesai, dia merebahkan badannya di atas kasur. Dia menghembuskan nafas pelan. Tersenyum puas. Dia mengingat-ngingat pertemuannya dengan Aldy tadi. Rasanya senang sekali bisa melepaskan rasa rindu yang sudah lama tertahan.

Lalu terdengar suara Mama memanggilnya untuk makan malam.

Ada banyak sekali makanan. Hemm.. dengan wangi yang sangat menggairahkan. Rasanya Lisa ingin sekali melahap itu semua.

“Tadi itu siapa?” Mama bertanya ke Lisa. “..yang duduk di depan teras bersamamu?”

Lisa menelan makanannya, lalu menjawab. “Itu Aldy, Ma.”

“Dia dari dulu memang sering bermain di sini, kan, masa kamu lupa?” Bibi Lena menimpali.

“Oh, Aldy. Aku hampir tidak mengenalinya. Dia sudah besar, ya.”

“Anak dari keluarga Jonathan itu, kan? Aku dengar-dengar dia itu sangat berbakat.”

“Iya, Pa. Kak Aldy jago main bola. Tadi dia nunjukin gerakan-gerakan hebatnya ke Robby” Ujar Robby sambil mengunyah makanannya. “Hebat banget.”

Lisa hanya tersenyum. Tidak tahu kenapa, rasanya senang sekali keluarganya juga mengenal dekat Aldy.



“Aku kan sudah bilang, aku yang akan ke rumahmu hari ini.”

“Tapi, tiba-tiba saja aku ingin sekali berkunjung ke sini.”

Aldy tersenyum miring. “Ya sudah, ayo masuk.”

“Sepi. Tidak ada orang?” Lisa melihat ke sekelilingnya. Rumah mungil itu memang terlihat sepi sekali.

“Iya. Semuanya keluar. Aku juga baru saja mau keluar untuk mengunjungimu, tapi kamu sudah datang duluan.”

Aldy mengantar Lisa masuk ke dalam ruang tengah. Rumah Aldy jauh lebih dekat dengan pantai. Jadi, dengan duduk di ruang tengah seperti ini saja, angin sepoi-sepoi sudah menemani. Jauh lebih tentram dari kamar yang ditempati Lisa. Mungkin itulah sebabnya dia ingin berkunjung ke sini.

“Kamu masih ingat ini?” Aldy mengambil salah satu kaset dan menunjukkannya kepada Lisa.

Ahh, kaset pemberianku. “Tentu saja. Bagaimana? Kamu menyukainya?”

“Ada satu lagu yang menjadi favoritku.” Aldy memasukkan kaset itu ke dalam tape, lalu memutarkan lagu yang dimaksudkannya tadi.

Two of us, The Beatles. Lisa berfikir sejenak. “Kenapa kamu menyukainya?”

“… You and me Sunday driving, not arriving, on our way back home …” Aldy menyanyikan lagu itu, mengikuti irama yang dinyanyikan oleh Paul McCartney. “Aku suka liriknya.”

“Apa yang.. ehmm.” Lisa tidak jadi melanjutkan kalimatnya. “Maksudku, apa lagi lagu yang kamu suka?” Lisa menghembuskan nafas lega. Tidak seharusnya dia mengeluarkan pertanyaan apa yang dipikirkannya pertama kali tadi. Apa yang kamu pikirkan ketika mendengar lagu itu? Apakah kamu memikirkan aku? Pertanyaan yang bodoh.

“Sebenarnya aku suka semua. Tapi lagu inilah yang paling aku suka.”

Lisa dan Aldy terus mengobrol, menceritakan tentang kehidupan mereka masing-masing, menceritakan masa-masa kecil mereka, sejak pertemuan pertama mereka sampai sekarang.

“Aldy, ke pantai, yuk.” Sembari mengarahkan pandangannya ke pantai.

“Udah sore.”

“Tidak apa. Lihat sunset kayaknya asik.” Lisa menatap Aldy sambil tersenyum penuh harap.



Mereka berjalan bersampingan di pinggir pantai. Sepi sekali. Kicauan burung dan desiran ombak laut menemani mereka. Sebentar lagi matahari terbenam. Mereka tetap berjalan perlahan-lahan meninggalkan bekas jejak kaki mereka di pasir.

Lisa sudah mulai mengerti apa yang dirasakannya. Dia sudah cukup besar untuk memahami perasaan itu. Tapi yang tidak dia mengerti adalah, bagaimana perasaan lelaki yang di sampingnya itu terhadapnya. Ingin sekali dia bertanya, ingin sekali.

“Aldy.”

“Iya, Lisa?”

“Kamu tahu kan? Tahun ini aku akan masuk ke universitas.” Lisa terdiam sejenak untuk mengumpulkan kata-kata. “Mungkin ini akan menjadi musim panas terakhirku di sini.”

Aldy menghentikan langkah kakinya. Dia tidak bisa menutupi ekspresi terkejutnya itu. Dia menatap Lisa dalam-dalam. Lalu membuang pandangannya untuk menatap ujung laut.

Apa maksudnya itu? Apakah dia sedih? Atau apa? Katakanlah sesuatu, Aldy!

“Aku akan kuliah di sebuah universitas di Loudylage. Jadi, aku juga akan pindah ke daerah sana. Tidak tinggal bersama kedua orangtuaku lagi.”
Keheningan menyelimuti mereka. Aldy yang membelakangi Lisa hanya terdiam.
“Aldy?” Please..

“Loudylage itu kota yang sangat indah. Sepupuku pernah berlibur ke sana. Dia bilang Loudylage tidak sepanas di sini. Dan, sangat menyenangkan, katanya.”

Lisa mencoba untuk mencerna ucapan dari lelaki itu. Bukan itu, bukan ucapan seperti itu yang Lisa harapkan dia dengar dari Aldy. Hanya itu kah yang bisa kamu katakan?

Lisa menunduk. Dia tidak bisa menahan bendungan air mata yang tiba-tiba sudah keluar dari kedua bola matanya. Dia tidak mengerti. Atau mungkin dia berharap terlalu banyak pada lelaki itu.

“Jagalah dirimu baik-baik, ya” Aldy membalikkan badannya. Dia terkejut melihat perempuan yang di hadapannya sedang menangis. “Lisa.. Kenapa?”

Jika kamu memang tidak bisa mengatakan menyukaiku, Katakanlah kamu tidak ingin aku pergi. Katakanlah kamu tidak ingin kita berpisah dan tetap bersama selamanya. Atau mungkinkah..

Aldy memeluk Lisa. Dan mengusap punggung perempuan itu perlahan-lahan. Mereka tidak menyadari kehadiran matahari terbenam yang sangat indah di sore itu.

..kamu terlalu takut sehingga tidak bisa mengatakannya kepadaku.





Writer : Rionyx