Malam yang sejuk mengiringi kesepianku. Angin malam turut membelai lembut rambutku. Menemaniku yang tengah sendiri menatap indahnya bumi. Sebagai teman paling setia dikesendirianku dalam ketidakadilan ini.
“Oh Tuhan, kapan semuanya akan berubah?” tanyaku dalam pengharapan.
Tiba-tiba pintu kamarku diketuk dengan cukup pelan.
“pasti bi Imah.” Tebakku
“iya, sebentar!” sahutku sembari berjalan dari serambi kamar.
“Maaf non, waktunya makan malam. Yang lain sudah ngumpul dibawah.” Ucap Bi Imah saat pintu kamarku terbuka.
“ok bi Dera juga udah lapeer banget.” Candaku padanya.
Bi Imah adalah seseorang yang merawatku sejak lahir. Bagiku, ia sudah seperti Ibu kandungku. Dirumahku, hanya Bi Imah yang peduli dengan keadaanku. Disaat aku sakit, hanya ia yang selalu repot menyiapkan obat, hanya ia yang selalu tahu betapa sedihnya aku disaat nilai raportku jauh dari nilai kak Dara. Hanya ia yang tahu betapa aku ingin seperti kak Dara, saudara kembarku.
****
Biarkan Aku yang Pergi
“wah ada ayam bakar nih. Heem maknyus” ucapku seraya menduduki kursi favoritku.
“dasar gak sopan…” sindir Ayah padaku.
“makanya, jangan nyerocos aja dong jadi cewek.” Timpal kakakku, Virgo.
“iya Dera, kamu duduk dulu baru ngomong, kan ada Papa sama Mama disini. Jadi sopan dikit Ra.” Tambah Kak Dara.
“iya Dera, betul tuh kata Dara. Contoh dia.” Tambah Ibu lagi.
“ok, aku pergi. Silahkan makan!!” ucapku dengan sinis.
Akupun bergegas naik menuju kamarku tanpa sedikitpun menyentuh makanan disana. Padahal sebenarnya maagku kambuh dan rasanya sangat perih. Tapi lebih perih lagi disaat aku tak pernah mendapatkan kasih sayang dari semua orang yang aku sayangi.
****
Matahari menjelma masuk kedalam kamarku yang pemiliknya masih tertidur lelap. Hingga aku terbangun karena silaunya sinar yang menerpa mataku.
“humh, udah pagi to” ucapku pada diri sendiri,
Aku bergegas mandi dan memakai pakaian sekolahku. Dengan aksesoris biru yang lengkap. Pagi ini, aku tak ingin sarapan. Aku hanya mengunjungi Bi Imah yang ternyata sedang menyiapkan bekal untukku.
“makasih ya Bi, Dera sayang Bibi.” Ucapku dengan tulus padanya
“iya non, Bibi juga sayangg banget sama non Dera, semangat ya Non sekolahnya.” Sahut bi Imah menyemangati.
Setibanya disekolah, aku segera menuju ruangan tempatku ulangan. Jadwal hari ini adalah matematika dan bahasa inggris. Pelajaran menghitung yang sangat menyebalkan untukku. Karena aku tak seperti kak Dara yang jago menghitung. Dugaanku tepat, soal kali ini susahnya minta ampun. Hingga kertas ulanganku hampir tak terisi. Namun kalau bahasa inggris, inilah kehebatanku. Semua soal dapat kukerjakan dengan mudah. Karena sejak kecil aku sudah sangat hebat berbahasa inggris. Seperti Om Frans dan Tante Siska yang semasa di Jakarta sangat menyayangiku jauh lebih besar dari orang tua kandungku. Namun kini mereka telah pindah ke Amerika dengan anaknya, Dimas.
****
Waktu seakan berjalan dengan sungguh cepat, kini saatnya pembagian hasil belajar siswa. Kebetulan, aku dan kak Dera berbeda kelas dan sekolah. Kalau aku masih berada dikelas satu SMA, sedangkan ia sudah berada dikelas dua. Semua terjadi karena aku pernah tak naik kelas sewaktu disekolah dasar. Kalau kak Dara sengaja Papa sekolahkah di sekolah terfavorit di Jakarta, sedangkan aku bersekolah di SMA yang didalamnya hanyalah siswa buangan dari sekolah lain yang tidak menerima kami. Karena nilaiku tak sehebat nilai kak Dara dan Kak Virgo. Mereka memiliki IQ yang jauh lebih tinggi daripada aku.
“Pa, ambilin raport Dera ya.” Pintaku
“Papa sudah janji sama Dara kalau Papa yang akan mengambilkan raportnya. Kalian kan beda sekolah.” Jawab Ayahku.
“Ma, ambilin raport Dera ya!” pintaku lagi pada Mama.
“Mama udah janji sama Virgo ngambilib raportnya, dia kan sudah kelas tiga jadi harus diwakilin.” Jawab Mama.
“oh gitu ya.” Balasku dengan kecewa.
Aku hanya bisa menangis sendirian didalam kamar. Tidak ada satu orangpun yang mau mengambilkan raportku. Jalan terakhir adalah Bi Imah. Dan tentu saja ia sangat mau mengambilkan raportku.
“Gimana bi hasilnya?” tanyaku dengan penasaran
“Non Dera juara 1 non.” Ucap bi Imah dengan semangat.
“hah? Beneran bi?” sahutku tak kalah semangat.
Ternyata usahaku tak sia-sia, akhirnya aku bisa menyamai prestasi kak Dara.
****
Setibanya dirumah, semua orang yang sedang tertawa ria melihat hasil belajar kak Dara dan kak Virgo menjadi terdiam disaat kedatanganku dan Bi Imah.
“gimana hasilnya Ra?, pasti jelek.” Ucap kak Virgo menyindirku.
“gak ko, aku juara 1.” Ucapku dengan semangat.
“ah, juara 1 disekolahmu pasti juara terakhir dikelas Dara.” Ledek Ayah padaku.
Aku kecewa, benar-benar kecewa karena semua prestasi yang kuraih tak penah dihargai sama sekali. Dengan kecewa aku berlari menuju kamarku, kuratapi semua ketidakadilan ini. Aku tidak keluar kamar selama dua haripun tak ada yang peduli. Semua orang dirumah hanya sibuk dengan pekerjaannya masing-masing, tak terkecuali Bi Imah yang hampir setiap jam membujukku untuk keluar. Maagku kambuh, rasanya teramat perih dari yang biasanya.
“oh Tuhan, kuatkan aku!” pintaku
Dihari ketiga aksi diamku dikamar, tiba-tiba rumahku terdengar sebuah suara yang sangat kukenal. Ternyata hari ini, keluarga Om Frans sudah tiba di Jakarta untuk berlibur bersama keluarga kami.
“Dimas? Aku merindukanmu.” Ucapku dengan tertunduk lesu dikamar.
Aku keluar kamar untuk menemuinya, namun ternyata ia sudah berubah dan tak peduli lagi padaku. Semuanya benar-benar berubah, dan kini janjinya ia ingkari untuk menemuiku. Penantianku sia-sia, semua orang telah membenciku dan menjauhiku. Aku sendirian dirumah, bi Imah pulang kekampung karena anaknya sakit. Sedangkan yang lain sedang makan malam dihotel. Dan aku? Tertinggal disini.
****
Aku hanya makan dan terus memasukkan roti berselai srikaya kemulutku. Sedangkan yang lain asyik berbincang-bincang dengan topic kak Dara dan Dimas. Yang aku tahu, mereka terus membanggakan dua orang yang berprestasi tersebut. Hingga Om Frans dan Tante Siska juga turut berubah padaku. Semua orang mengucilkanku disini. Sesudah sarapan pagiku habis, aku segera pamit menuju taman belakang yang ternyata disana ada kak Dara dan seseorang yang sangat aku sayangi, kak Dimas. Disana, aku sedang melihatnya memberikan setangkai mawar pada kak Dara. Ternyata mereka sudah jadian dan aku tahu, bahwa kak Dimas telah melupakanku.
****
Akhirnya, hari yang telah lama kunantikan tiba juga. Hari ini, pertandingan karateku akan berlangsung. Namun sayang, semua orang yang kusayang tak ada yang mau hadir disini. Semuanya memilih hadir dilomba kak Dara, olimoiade sains. Walau sedikit kecewa, akan kubuktikan bahwa aku adalah Dera yang hebat. Keinginanku terwujud, aku menang dan meraih juara satu dipertandingan karate nasional yang diadakan di Jakarta.
“kita panggil, juara nasional karate tahun ini. Alderaya Zivanna dari Jakarta.” Panggil pembawa acara.
Dengan diiringi tepuk tangan meriah, ku naiki podium kebesaranku, dan kurasakan aku sangat dihargai disini.
****
Setibanya dirumah, kuletakkan foto keberhasilanku diruang tamu, namun disaat kedatangan kak Dara dan yang lainnya, kulihat kemurungan disana. Dan setelah melihat foto keberhasilanku, kak Dara malah menangis dan berlari menuju kamarnya.
“kamu sengaja meledek Dara?” Tanya Papa dengan sinis.
“gak pa! maksud Papa apa sih?” tanyaku tak mengerti.
“Dara kalah sedangkan kamu menyombongkan diri dengan memajang fotomu diruang ini. kamu tahu kan bahwa diruang ini hanya foto-foto keberhasilan Dara yang boleh menempatinya.” Jawab Papa yang membuatku sangat kecewa.
“Lepas Fotomu!” ucap Mama dengan agak ketus padaku.
Kulepas foto yang sangat aku harapkan menjadi penghubung agar keluargaku menyanjungku. Sebuah harapan yang sejak dulu selalu ku inginkan. Karena aku selalu iri disetiap kak Dara dipuji dan disanjung oleh papa dan mama, serta semua tamu yang pernah berkunjung kerumahku. Sekarang pertanyaan terbesarku adalah,
“apakah aku anak kandungmu Ma? Pa?”
Pertanyaan yang tak pernah terjawab oleh lisan, namun terjawab oleh perbuatan mereka padaku. Seorang anak yang selalu tersingkirkan oleh ketidakadilan.
****
Hari demi hari terus berganti, dan semenjak itu pula kak Dara menjadi seseorang yang terpuruk. Aku bisa merasakan perasaannya yang tertekan karena ia kalah diolimpiade. Yang kutahu, saudara kembarku ini terlihat lemah dari yang biasanya.
“Udahlah kak, gak ada gunanya ditangisin terus.” Ucapku menyemangati.
“udahlah Ra, kamu senang kan ngeliat aku kaya gini? Kamu senang kan ngeliat aku kalah?” jawabnya dengan menangis.
“gak ka, gak. Aku gak pernah ada niatan kaya gitu.” Sahutku.
“udahlah, pergi kamu dari kamarku, pergi…” ucapnya terpotong karena akhirnya ia terjatuh tepat didepanku.
“Pa, Ma, tolong kak Dara. Kak Dara pingsan Pa!” beritahuku
“apa? Kamu apain sih dia?” Tanya Papa sinis padaku.
“aku, aku gak ada ngapa-ngapain dia pa.” sahutku dengan menyembunyikan kesakitanku.
“pasti penyakitnya kambuh lagi pa, ayo cepat kita bawa kerumah sakit.” Ucapku pada Papa.
****
Hari ini tepat seminggu sebelum ulang tahunku dengan kak Dara. Aku takut kehilangannya, saudara kembarku yang sangat aku sayangi. Dokter bilang bahwa ginjalnya sudah benar-benar rusak. Yang aku tahu, kini ginjalnya hanya satu setelah setahun yang lalu satu ginjalnya sudah diangkat. Sedangkan aku masih mempunyai dua ginjal.
“hanya saudara kembarnya yang ginjalnya cocok dengan Dara. Jadi usahakan dengan secepat mungkin diadakan pencangkokan ginjal Pak” beritahu dokter pada Papa.
Setelah itu, aku menjadi sasaran semua orang yang menyayangi kak Dara. Semuanya memintaku untuk mendonorkan satu ginjalku padanya. Niatku memang sudah bulat bahwa aku akan mendonorkan kedua ginjalku pada kak Dara, tapi aku tak ingin ada yang tahu semuanya. Karena aku tidak mau mereka akan menyayangiku karena bersimpati denganku yang telah memberikan satu ginjal pada saudaraku. Aku hanya ingin kasih sayang tulus dari mereka, entahlah bagaimana caranya agar aku mendapatkannya.
“ah sudahlah Dera, kamu memang saudara yang kejam. Hanya menyumbangkan satu ginjal saja tidak mau. Untunglah ada seseorang yang baik hati yang mau menyumbangkannya pada Dara.” Ucap Papa
“aku kecewa sama kamu Dera, tega ya kamu sama kakak kamu sendiri.” Ucap Dimas dengan kecewa padaku.
“siapa yang mendonorkan ginjalnya Pa?” Tanya kak Virgo.
“entahlah, pendonor itu tidak mau diberitahu namanya. Bahkan ia memberikan dua ginjalnya dengan gratis pada Dara. Dia benar-benar berhati malaikat.” Jawab papa.
“andaikan kalian tahu kalau itu aku? Apakah aku akan diberi penghargaan dari Papa?” gumamku dalam hati.
****
Beberapa jam sebelum operasi pencangkokan dilakukan, aku menulis sebuah surat untuk semua orang yang aku sayangi. Entahlah, aku merasa akan meninggalkan mereka semua. Rasanya, aku sudah sangat lelah dengan hidupku sendiri. Sesudah selesai ku tulis, surat itu kutitipkan pada Bi Imah. Akupun berangkat menuju rumah sakit untuk segera menjalani operasi.
@ ruang operasi
Ruang ini tersasa begitu menakutkan. Semua benda yang kulihat hanyalah jarum suntik dan gunting. Alat-alat yang terlihat menakutkan bagiku. Aku dibawa lebih dulu keruang ini, agar tidak ada yang tahu siapa aku sebenarnya. Posisiku dan kak Dara dipisahkan oleh dinding pembatas. Hingga akhirnya aku dibius, dan kurasakan semuanya gelap.
****
Seminggu kemudian. . . .
“akhirnya kamu sembuh juga sayang. Mama khawatir banget sama kamu sejak kamu dioperasi. Untung ada pendonor itu.” Ucap Mamanya dengan penuh kasih sayang.
“Dan Happy Brithday Dara…” ucap semua orang serentak
“Makasih ya semuanya. Aku senanggg banget. Oya, Dera mana ya Ma? Gak tau kenapa Dara kepikiran dia terus. Hari ini kan ulang tahun kami” Sahut Dara.
“iya ya? Mana dia Bi?” Tanya Ibunya pada Bi Imah
“Sebentar nyonya.” Jawab Bi Imah dengan berlari menuju kamar Dara.
Dan beberapa menit kemudian sudah tiba dengan membawa sepucuk surat.
“ini surat dari Non Dera sebelum pergi.” Beritahu Bi Imah.
Walau agak heran, Ibunya pun membacanya dengan agak keras.
Untuk semua orang yang sangaaat Dera sayang
Mungkin saat kalian baca surat ini Dera gak ada lagi disini. Dera udah pergi ketempat yang saangaat jaauh. Oya, gimana kabar kak Dara? Gak sakit lagi kan? Semoga ginjalku dapat membantumu untuk meraih semua mimpi-mimpimu yang belum terwujud.
Teruntuk PAPA yang SANGAT KURINDUKAN
Gimana Pa? rumah kita udah tenang belum? Gak ada yang gak sopan lagi kan? Oh pasti gak ada dong ya? Ya iyalah, Dera si pembuat onar kan udah gak ada.
Teruntuk MAMA yang SANGAT-SANGAT KU RINDUKAN
Ma, Dera pasti akan sangat rindu dengan teddy bear pemberian Mama lima tahun yang lalu. Ma, Dera kangeeen banget pelukan Mama. Dera selalu iri saat Mama hanya mencium kak Dara disaat ia tidur. Dera iri melihat Mama yang selalu menyemangati kak Dara disaat ia sedang sedih. Dera iri dengan semua perhatian yang Mama berikan pada kak Virgo dan kak Dara. Dera sangaat iri.
Teruntuk KAK VIRGO dan saudara kembarku, DARA
Gimana kak, gak ada lagi kan yang ganggu kalian belajar? Gak ada lagi kan yang nyetel music keras-keras dikamar? Pasti rumah kita tenang ya, pastinya gak akan ada lagi yang akan membuat kalian malu karena punya saudara yang bodoh bukan? Oh, pastinya. Oya, SELAMAT ULANG TAHUN YA KAK, SELAMAT MENJALANI UMURMU YANG KE-17 TAHUN. Yang mungkin takkan pernah aku rasakan.
Kalian semua harus tau, betapa AKU SANGAT MENYAYANGI KALIAN. Mungkin dengan kepergianku, smeuanya akan tenang dan rumah kita menjadi tentram. Dera harap, gak aka ada lagi yang terkucilkan seperti Dera. Yang selalu menangis setiap malam. Yang selalu merindukan hangatnya kekeluargaan. Mungkin dengan kepergian ini, aku akan tahu bagaimana kalian akan mengenangku, seperti akuyang selalu mengenang kalian setiap malam dengan tangisan. . . Semoga KALIAN SEMUA BAHAGIA TANPA DERA, AAMIIN.
Salam rindu penuh tangis bahagia
Alderaya Zivanna
Semua yang mendengar menangis. Mereka bertanya-tanya pada Bi Imah dimana Dera. Namun tiba-tiba telepon rumah berbunyi..
“iya, saya Hermawan, ada apa ya?” Tanya Papanya dengan penasaran.
Dan sesaat kemudian Papanya menangis dan segera mengajak anggota keluarganya ke Rumah sakit. Dan mereka terlambat, Dera telah pergi untuk selama-lamanya. Dan menginggalkan berjuta penyesalan disetiap tangis yang jatuh. Kini, ia telah tenang dan jauh dari ketidakadilan selama hidupnya. Walau air mata tengah menangisinya yang telah pergi untuk selama-lamanya. . .
The End
天国の生活 Tengoku no Seikatsu
Selasa, 26 Mei 2015
Minggu, 24 Mei 2015
Summer Girl
“But you’ll always be my golden boy
And I’m the summer girl you enjoyed
Some melodies are best left undone
I feel the times pass away
But in my songs you’ll always stay
I don’t need you to tell me that I’m the one
You never know that I was the one.”
The One
Sebuah mobil melintas melewati jalan satu jalur berlatar belakang sebuah pantai yang sangat indah. Burung-burung bangau berterbangan melewati cahaya matahari yang begitu teriknya. Dari dalam mobil itu, Seorang perempuan melihat ke luar jendela. Dia tersenyum kecil, menunjukkan ekspresi tidak sabarnya untuk bisa bermain-main di pantai itu. Bagaikan sebuah penantian yang amat panjang, akhirnya waktunya tiba juga untuknya berada di sini, tempat yang selalu dia kunjungi bersama keluarganya. Hanya ketika liburan musim panas.
Mereka berhenti di depan rumah sederhana yang tepat menghadap ke arah pantai. Si pemilik rumah keluar dengan antusias menyambut tamu tahunan mereka itu.
“Akhirnya sampai juga, Bibi sudah menunggu dari tadi.”
“Hehehe.. Bibi Lena, Apa kabar?”
“Sangat baik, Lisa. Apalagi setelah kedatangan kalian.” Ucap Bibi Lena sembari ikut membantu mengangkat tas-tas yang diambilnya dari bagasi mobil.
“Dimana Ronald?” Tanya wanita separuh baya yang sangat mirip dengan Bibi Lena.
“Dia bilang mau mengurusi lomba voli pantai yang akan dilaksanakan beberapa hari lagi. Dia salah satu panitianya.” Bibi Lena menghembuskan nafas. “Dia titip salam, tidak bisa menyambut kedatangan kalian.”
“Oh, begitu. Tidak apa-apa lah.” Mereka berdua lalu berjalan masuk ke dalam rumah. “Oh iya, Lisa, tolong kamu bawa tas Robby, ya!”
“Iya, Ma!”
Lisa yang masih berada di dekat mobil langsung berjalan ke arah bagasi. Tapi, ngomong-ngomong, di mana adiknya itu. Lisa melihat ke sekeliling. Pandangannya berhenti setelah dia berhasil menemukan siapa yang dicarinya. Adiknya itu, sedang bersama seseorang. Seorang Lelaki yang sangat dia kenal. Dia sedang menunjukkan freestyle dengan bola yang dipantul-pantulkan menggunakan punggung kakinya. Laki-laki itu menghentikan gerakannya tiba-tiba setelah dia menyadari ada Lisa yang sedang menatap ke arahnya. Lisa tersenyum sambil melambai kecil.
“Besok akan kakak tunjukkan lagi ya, gerakan yang lain.” Bisik lelaki itu sembari mengusap rambut bocah laki-laki kecil yang berada di sampingnya. Bocah laki-laki itu mengangguk semangat. Lalu dia berlari masuk ke dalam rumah.
Lisa mengarahkan pandangannya mengikuti arah kemana adik satu-satunya itu berlari. Lalu kembali menatap lelaki yang seumuran dengannya itu, yang berada tak jauh di depannya. Mereka berdua tersenyum.
—
“Lama sekali rasanya. Tapi kelihatannya tidak ada yang berubah dengan kamu, ya.”
“Masa? Aku tambah tinggi, lho. Dan kamu, masih suka main bola?”
“Iya. Aku sudah sangat serius dengan bidang ini.” Lelaki itu menatap ke arah bola yang digenggamnya sedari tadi. “Jangan heran lagi kalau nanti kamu melihat aku menjadi pesebak bola professional di tv.”
“Haha.. Aku akan selalu mendukungmu.” Sambil tersenyum. Lisa menunduk sesaat. Ada yang ingin sekali dia tanyakan. Pertanyaan yang selalu berkutat di pikirannya. Apakah selama ini kamu menungguku, Aldy?
“Aku senang kamu kembali ke sini.”
Lisa terdiam sejenak. “Benarkah?” Lisa sangat senang mendengar ucapan itu. Senang sekali. “Aku juga..”
“Lisa!!” Terdengar teriakan dari dalam rumah.
Lisa memutar kedua bola matanya. “Iya, Ma! Sebentar.”
Aldy beranjak bangun. “Well, besok aku akan ke sini lagi.”
“Baiklah.”
“Bye, Lisa!” Aldy berlari meninggalkan teras rumah Bibi Lena.
“Bye..”
Lisa masuk ke dalam. Mamanya sedang sibuk mengeluarkan barang-barang dari dalam koper.
“Tuh, kan, Mama bawa barangnya kebanyakan, sih. Kita kan tidak lama di sini, Ma.”
“Sudahlah, ayo bantu Mama, cepat.”
Lisa membawa beberapa tumpukan baju ke dalam kamar yang akan ditempati oleh Mama dan Papanya. Lalu dilanjuti membuka koper berisi baju-baju kepunyaannya. Tapi, dia menutupnya lagi. Dia memutuskan untuk membereskan baju-bajunya itu di dalam kamarnya saja.
“Kamarku yang di atas, kan?”
“Iya, sayang.”
Lisa mengangkat kopernya ke atas, lalu masuk ke dalam kamar. Kamarnya tidak terlalu besar, tapi sangat nyaman. Apalagi dengan pemandangan ke luar jendela yang langsung mengarah ke laut. Tentram sekali. Lisa mengeluarkan bajunya satu-persatu, lalu memasukkannya ke dalam lemari.
Setelah selesai, dia merebahkan badannya di atas kasur. Dia menghembuskan nafas pelan. Tersenyum puas. Dia mengingat-ngingat pertemuannya dengan Aldy tadi. Rasanya senang sekali bisa melepaskan rasa rindu yang sudah lama tertahan.
Lalu terdengar suara Mama memanggilnya untuk makan malam.
Ada banyak sekali makanan. Hemm.. dengan wangi yang sangat menggairahkan. Rasanya Lisa ingin sekali melahap itu semua.
“Tadi itu siapa?” Mama bertanya ke Lisa. “..yang duduk di depan teras bersamamu?”
Lisa menelan makanannya, lalu menjawab. “Itu Aldy, Ma.”
“Dia dari dulu memang sering bermain di sini, kan, masa kamu lupa?” Bibi Lena menimpali.
“Oh, Aldy. Aku hampir tidak mengenalinya. Dia sudah besar, ya.”
“Anak dari keluarga Jonathan itu, kan? Aku dengar-dengar dia itu sangat berbakat.”
“Iya, Pa. Kak Aldy jago main bola. Tadi dia nunjukin gerakan-gerakan hebatnya ke Robby” Ujar Robby sambil mengunyah makanannya. “Hebat banget.”
Lisa hanya tersenyum. Tidak tahu kenapa, rasanya senang sekali keluarganya juga mengenal dekat Aldy.
—
“Aku kan sudah bilang, aku yang akan ke rumahmu hari ini.”
“Tapi, tiba-tiba saja aku ingin sekali berkunjung ke sini.”
Aldy tersenyum miring. “Ya sudah, ayo masuk.”
“Sepi. Tidak ada orang?” Lisa melihat ke sekelilingnya. Rumah mungil itu memang terlihat sepi sekali.
“Iya. Semuanya keluar. Aku juga baru saja mau keluar untuk mengunjungimu, tapi kamu sudah datang duluan.”
Aldy mengantar Lisa masuk ke dalam ruang tengah. Rumah Aldy jauh lebih dekat dengan pantai. Jadi, dengan duduk di ruang tengah seperti ini saja, angin sepoi-sepoi sudah menemani. Jauh lebih tentram dari kamar yang ditempati Lisa. Mungkin itulah sebabnya dia ingin berkunjung ke sini.
“Kamu masih ingat ini?” Aldy mengambil salah satu kaset dan menunjukkannya kepada Lisa.
Ahh, kaset pemberianku. “Tentu saja. Bagaimana? Kamu menyukainya?”
“Ada satu lagu yang menjadi favoritku.” Aldy memasukkan kaset itu ke dalam tape, lalu memutarkan lagu yang dimaksudkannya tadi.
Two of us, The Beatles. Lisa berfikir sejenak. “Kenapa kamu menyukainya?”
“… You and me Sunday driving, not arriving, on our way back home …” Aldy menyanyikan lagu itu, mengikuti irama yang dinyanyikan oleh Paul McCartney. “Aku suka liriknya.”
“Apa yang.. ehmm.” Lisa tidak jadi melanjutkan kalimatnya. “Maksudku, apa lagi lagu yang kamu suka?” Lisa menghembuskan nafas lega. Tidak seharusnya dia mengeluarkan pertanyaan apa yang dipikirkannya pertama kali tadi. Apa yang kamu pikirkan ketika mendengar lagu itu? Apakah kamu memikirkan aku? Pertanyaan yang bodoh.
“Sebenarnya aku suka semua. Tapi lagu inilah yang paling aku suka.”
Lisa dan Aldy terus mengobrol, menceritakan tentang kehidupan mereka masing-masing, menceritakan masa-masa kecil mereka, sejak pertemuan pertama mereka sampai sekarang.
“Aldy, ke pantai, yuk.” Sembari mengarahkan pandangannya ke pantai.
“Udah sore.”
“Tidak apa. Lihat sunset kayaknya asik.” Lisa menatap Aldy sambil tersenyum penuh harap.
—
Mereka berjalan bersampingan di pinggir pantai. Sepi sekali. Kicauan burung dan desiran ombak laut menemani mereka. Sebentar lagi matahari terbenam. Mereka tetap berjalan perlahan-lahan meninggalkan bekas jejak kaki mereka di pasir.
Lisa sudah mulai mengerti apa yang dirasakannya. Dia sudah cukup besar untuk memahami perasaan itu. Tapi yang tidak dia mengerti adalah, bagaimana perasaan lelaki yang di sampingnya itu terhadapnya. Ingin sekali dia bertanya, ingin sekali.
“Aldy.”
“Iya, Lisa?”
“Kamu tahu kan? Tahun ini aku akan masuk ke universitas.” Lisa terdiam sejenak untuk mengumpulkan kata-kata. “Mungkin ini akan menjadi musim panas terakhirku di sini.”
Aldy menghentikan langkah kakinya. Dia tidak bisa menutupi ekspresi terkejutnya itu. Dia menatap Lisa dalam-dalam. Lalu membuang pandangannya untuk menatap ujung laut.
Apa maksudnya itu? Apakah dia sedih? Atau apa? Katakanlah sesuatu, Aldy!
“Aku akan kuliah di sebuah universitas di Loudylage. Jadi, aku juga akan pindah ke daerah sana. Tidak tinggal bersama kedua orangtuaku lagi.”
Keheningan menyelimuti mereka. Aldy yang membelakangi Lisa hanya terdiam.
“Aldy?” Please..
“Loudylage itu kota yang sangat indah. Sepupuku pernah berlibur ke sana. Dia bilang Loudylage tidak sepanas di sini. Dan, sangat menyenangkan, katanya.”
Lisa mencoba untuk mencerna ucapan dari lelaki itu. Bukan itu, bukan ucapan seperti itu yang Lisa harapkan dia dengar dari Aldy. Hanya itu kah yang bisa kamu katakan?
Lisa menunduk. Dia tidak bisa menahan bendungan air mata yang tiba-tiba sudah keluar dari kedua bola matanya. Dia tidak mengerti. Atau mungkin dia berharap terlalu banyak pada lelaki itu.
“Jagalah dirimu baik-baik, ya” Aldy membalikkan badannya. Dia terkejut melihat perempuan yang di hadapannya sedang menangis. “Lisa.. Kenapa?”
Jika kamu memang tidak bisa mengatakan menyukaiku, Katakanlah kamu tidak ingin aku pergi. Katakanlah kamu tidak ingin kita berpisah dan tetap bersama selamanya. Atau mungkinkah..
Aldy memeluk Lisa. Dan mengusap punggung perempuan itu perlahan-lahan. Mereka tidak menyadari kehadiran matahari terbenam yang sangat indah di sore itu.
..kamu terlalu takut sehingga tidak bisa mengatakannya kepadaku.
Writer : Rionyx
And I’m the summer girl you enjoyed
Some melodies are best left undone
I feel the times pass away
But in my songs you’ll always stay
I don’t need you to tell me that I’m the one
You never know that I was the one.”
The One
Sebuah mobil melintas melewati jalan satu jalur berlatar belakang sebuah pantai yang sangat indah. Burung-burung bangau berterbangan melewati cahaya matahari yang begitu teriknya. Dari dalam mobil itu, Seorang perempuan melihat ke luar jendela. Dia tersenyum kecil, menunjukkan ekspresi tidak sabarnya untuk bisa bermain-main di pantai itu. Bagaikan sebuah penantian yang amat panjang, akhirnya waktunya tiba juga untuknya berada di sini, tempat yang selalu dia kunjungi bersama keluarganya. Hanya ketika liburan musim panas.
Mereka berhenti di depan rumah sederhana yang tepat menghadap ke arah pantai. Si pemilik rumah keluar dengan antusias menyambut tamu tahunan mereka itu.
“Akhirnya sampai juga, Bibi sudah menunggu dari tadi.”
“Hehehe.. Bibi Lena, Apa kabar?”
“Sangat baik, Lisa. Apalagi setelah kedatangan kalian.” Ucap Bibi Lena sembari ikut membantu mengangkat tas-tas yang diambilnya dari bagasi mobil.
“Dimana Ronald?” Tanya wanita separuh baya yang sangat mirip dengan Bibi Lena.
“Dia bilang mau mengurusi lomba voli pantai yang akan dilaksanakan beberapa hari lagi. Dia salah satu panitianya.” Bibi Lena menghembuskan nafas. “Dia titip salam, tidak bisa menyambut kedatangan kalian.”
“Oh, begitu. Tidak apa-apa lah.” Mereka berdua lalu berjalan masuk ke dalam rumah. “Oh iya, Lisa, tolong kamu bawa tas Robby, ya!”
“Iya, Ma!”
Lisa yang masih berada di dekat mobil langsung berjalan ke arah bagasi. Tapi, ngomong-ngomong, di mana adiknya itu. Lisa melihat ke sekeliling. Pandangannya berhenti setelah dia berhasil menemukan siapa yang dicarinya. Adiknya itu, sedang bersama seseorang. Seorang Lelaki yang sangat dia kenal. Dia sedang menunjukkan freestyle dengan bola yang dipantul-pantulkan menggunakan punggung kakinya. Laki-laki itu menghentikan gerakannya tiba-tiba setelah dia menyadari ada Lisa yang sedang menatap ke arahnya. Lisa tersenyum sambil melambai kecil.
“Besok akan kakak tunjukkan lagi ya, gerakan yang lain.” Bisik lelaki itu sembari mengusap rambut bocah laki-laki kecil yang berada di sampingnya. Bocah laki-laki itu mengangguk semangat. Lalu dia berlari masuk ke dalam rumah.
Lisa mengarahkan pandangannya mengikuti arah kemana adik satu-satunya itu berlari. Lalu kembali menatap lelaki yang seumuran dengannya itu, yang berada tak jauh di depannya. Mereka berdua tersenyum.
—
“Lama sekali rasanya. Tapi kelihatannya tidak ada yang berubah dengan kamu, ya.”
“Masa? Aku tambah tinggi, lho. Dan kamu, masih suka main bola?”
“Iya. Aku sudah sangat serius dengan bidang ini.” Lelaki itu menatap ke arah bola yang digenggamnya sedari tadi. “Jangan heran lagi kalau nanti kamu melihat aku menjadi pesebak bola professional di tv.”
“Haha.. Aku akan selalu mendukungmu.” Sambil tersenyum. Lisa menunduk sesaat. Ada yang ingin sekali dia tanyakan. Pertanyaan yang selalu berkutat di pikirannya. Apakah selama ini kamu menungguku, Aldy?
“Aku senang kamu kembali ke sini.”
Lisa terdiam sejenak. “Benarkah?” Lisa sangat senang mendengar ucapan itu. Senang sekali. “Aku juga..”
“Lisa!!” Terdengar teriakan dari dalam rumah.
Lisa memutar kedua bola matanya. “Iya, Ma! Sebentar.”
Aldy beranjak bangun. “Well, besok aku akan ke sini lagi.”
“Baiklah.”
“Bye, Lisa!” Aldy berlari meninggalkan teras rumah Bibi Lena.
“Bye..”
Lisa masuk ke dalam. Mamanya sedang sibuk mengeluarkan barang-barang dari dalam koper.
“Tuh, kan, Mama bawa barangnya kebanyakan, sih. Kita kan tidak lama di sini, Ma.”
“Sudahlah, ayo bantu Mama, cepat.”
Lisa membawa beberapa tumpukan baju ke dalam kamar yang akan ditempati oleh Mama dan Papanya. Lalu dilanjuti membuka koper berisi baju-baju kepunyaannya. Tapi, dia menutupnya lagi. Dia memutuskan untuk membereskan baju-bajunya itu di dalam kamarnya saja.
“Kamarku yang di atas, kan?”
“Iya, sayang.”
Lisa mengangkat kopernya ke atas, lalu masuk ke dalam kamar. Kamarnya tidak terlalu besar, tapi sangat nyaman. Apalagi dengan pemandangan ke luar jendela yang langsung mengarah ke laut. Tentram sekali. Lisa mengeluarkan bajunya satu-persatu, lalu memasukkannya ke dalam lemari.
Setelah selesai, dia merebahkan badannya di atas kasur. Dia menghembuskan nafas pelan. Tersenyum puas. Dia mengingat-ngingat pertemuannya dengan Aldy tadi. Rasanya senang sekali bisa melepaskan rasa rindu yang sudah lama tertahan.
Lalu terdengar suara Mama memanggilnya untuk makan malam.
Ada banyak sekali makanan. Hemm.. dengan wangi yang sangat menggairahkan. Rasanya Lisa ingin sekali melahap itu semua.
“Tadi itu siapa?” Mama bertanya ke Lisa. “..yang duduk di depan teras bersamamu?”
Lisa menelan makanannya, lalu menjawab. “Itu Aldy, Ma.”
“Dia dari dulu memang sering bermain di sini, kan, masa kamu lupa?” Bibi Lena menimpali.
“Oh, Aldy. Aku hampir tidak mengenalinya. Dia sudah besar, ya.”
“Anak dari keluarga Jonathan itu, kan? Aku dengar-dengar dia itu sangat berbakat.”
“Iya, Pa. Kak Aldy jago main bola. Tadi dia nunjukin gerakan-gerakan hebatnya ke Robby” Ujar Robby sambil mengunyah makanannya. “Hebat banget.”
Lisa hanya tersenyum. Tidak tahu kenapa, rasanya senang sekali keluarganya juga mengenal dekat Aldy.
—
“Aku kan sudah bilang, aku yang akan ke rumahmu hari ini.”
“Tapi, tiba-tiba saja aku ingin sekali berkunjung ke sini.”
Aldy tersenyum miring. “Ya sudah, ayo masuk.”
“Sepi. Tidak ada orang?” Lisa melihat ke sekelilingnya. Rumah mungil itu memang terlihat sepi sekali.
“Iya. Semuanya keluar. Aku juga baru saja mau keluar untuk mengunjungimu, tapi kamu sudah datang duluan.”
Aldy mengantar Lisa masuk ke dalam ruang tengah. Rumah Aldy jauh lebih dekat dengan pantai. Jadi, dengan duduk di ruang tengah seperti ini saja, angin sepoi-sepoi sudah menemani. Jauh lebih tentram dari kamar yang ditempati Lisa. Mungkin itulah sebabnya dia ingin berkunjung ke sini.
“Kamu masih ingat ini?” Aldy mengambil salah satu kaset dan menunjukkannya kepada Lisa.
Ahh, kaset pemberianku. “Tentu saja. Bagaimana? Kamu menyukainya?”
“Ada satu lagu yang menjadi favoritku.” Aldy memasukkan kaset itu ke dalam tape, lalu memutarkan lagu yang dimaksudkannya tadi.
Two of us, The Beatles. Lisa berfikir sejenak. “Kenapa kamu menyukainya?”
“… You and me Sunday driving, not arriving, on our way back home …” Aldy menyanyikan lagu itu, mengikuti irama yang dinyanyikan oleh Paul McCartney. “Aku suka liriknya.”
“Apa yang.. ehmm.” Lisa tidak jadi melanjutkan kalimatnya. “Maksudku, apa lagi lagu yang kamu suka?” Lisa menghembuskan nafas lega. Tidak seharusnya dia mengeluarkan pertanyaan apa yang dipikirkannya pertama kali tadi. Apa yang kamu pikirkan ketika mendengar lagu itu? Apakah kamu memikirkan aku? Pertanyaan yang bodoh.
“Sebenarnya aku suka semua. Tapi lagu inilah yang paling aku suka.”
Lisa dan Aldy terus mengobrol, menceritakan tentang kehidupan mereka masing-masing, menceritakan masa-masa kecil mereka, sejak pertemuan pertama mereka sampai sekarang.
“Aldy, ke pantai, yuk.” Sembari mengarahkan pandangannya ke pantai.
“Udah sore.”
“Tidak apa. Lihat sunset kayaknya asik.” Lisa menatap Aldy sambil tersenyum penuh harap.
—
Mereka berjalan bersampingan di pinggir pantai. Sepi sekali. Kicauan burung dan desiran ombak laut menemani mereka. Sebentar lagi matahari terbenam. Mereka tetap berjalan perlahan-lahan meninggalkan bekas jejak kaki mereka di pasir.
Lisa sudah mulai mengerti apa yang dirasakannya. Dia sudah cukup besar untuk memahami perasaan itu. Tapi yang tidak dia mengerti adalah, bagaimana perasaan lelaki yang di sampingnya itu terhadapnya. Ingin sekali dia bertanya, ingin sekali.
“Aldy.”
“Iya, Lisa?”
“Kamu tahu kan? Tahun ini aku akan masuk ke universitas.” Lisa terdiam sejenak untuk mengumpulkan kata-kata. “Mungkin ini akan menjadi musim panas terakhirku di sini.”
Aldy menghentikan langkah kakinya. Dia tidak bisa menutupi ekspresi terkejutnya itu. Dia menatap Lisa dalam-dalam. Lalu membuang pandangannya untuk menatap ujung laut.
Apa maksudnya itu? Apakah dia sedih? Atau apa? Katakanlah sesuatu, Aldy!
“Aku akan kuliah di sebuah universitas di Loudylage. Jadi, aku juga akan pindah ke daerah sana. Tidak tinggal bersama kedua orangtuaku lagi.”
Keheningan menyelimuti mereka. Aldy yang membelakangi Lisa hanya terdiam.
“Aldy?” Please..
“Loudylage itu kota yang sangat indah. Sepupuku pernah berlibur ke sana. Dia bilang Loudylage tidak sepanas di sini. Dan, sangat menyenangkan, katanya.”
Lisa mencoba untuk mencerna ucapan dari lelaki itu. Bukan itu, bukan ucapan seperti itu yang Lisa harapkan dia dengar dari Aldy. Hanya itu kah yang bisa kamu katakan?
Lisa menunduk. Dia tidak bisa menahan bendungan air mata yang tiba-tiba sudah keluar dari kedua bola matanya. Dia tidak mengerti. Atau mungkin dia berharap terlalu banyak pada lelaki itu.
“Jagalah dirimu baik-baik, ya” Aldy membalikkan badannya. Dia terkejut melihat perempuan yang di hadapannya sedang menangis. “Lisa.. Kenapa?”
Jika kamu memang tidak bisa mengatakan menyukaiku, Katakanlah kamu tidak ingin aku pergi. Katakanlah kamu tidak ingin kita berpisah dan tetap bersama selamanya. Atau mungkinkah..
Aldy memeluk Lisa. Dan mengusap punggung perempuan itu perlahan-lahan. Mereka tidak menyadari kehadiran matahari terbenam yang sangat indah di sore itu.
..kamu terlalu takut sehingga tidak bisa mengatakannya kepadaku.
Writer : Rionyx
Senin, 15 Desember 2014
I LOVE YOU
"Stive, tunggu aku!!"
"..."
"Stive! Jelaskan padaku kenapa kau mengabaikanku kayak gini!!"
"..."
"Stive!!!"
"Stive, tungg- aaa~"
"RANIIII!!!"
- Stive POV -
Salahku! Ini semua salahku! Ini semua salahku hingga dia begini. Salahku dia harus merasa dijauhi. Salahku dia harus kecapaian berlari mengejarku. Salahku dia harus terbaring. Bila hanya merasa dijauhi atau capai, itu tidak masalah. Tapi terbaring?
Aku Stive Anthony, siswa kelas 2-1, siswa yang selalu mendapat peringkat pertama, merupakan murid dengan Fans Club terbanyak di Veron High School, siswa yang sangat populer, dan merupakan satu dari lima murid terkaya di Veron High School.
Itu semua merupakan kelebihanku. Mereka bilang aku adalah manusia yang perfect, tidak mempunyai cela sedikitpun. Tapi mereka salah. Sesempurnanya manusia, pastinya mereka akan mempunyai cela, walaupun tidak nampak.
Dan inilah kelemahanku. Aku.. Paling.. Bodoh.. Dengan.. Cinta..
Lucu kan? Aku rasa tidak. Aku yang selalu dipuji dengan ucapan 'kau pintar sekali, Sasuke', ternyata lemah dengan cinta. Hingga dia datang ke dalam hidupku.
Dia, hanyalah gadis biasa. Dia, berasal dari kalangan keluarga sederhana. Dia, yang merubah kepribadianku luar dan dalam. Dialah kekasih pertamaku, Rani Rich.
Cukup sulit untukku untuk mendapatkan hatinya. Dia yang saat pertama masuk Veron High School ini sangat tergila-gila dengan pelajaran dan mengesampingkan masalah pribadi. Akupun mulai mendekatinya dan bersapa ringan. Hanya saling mengucapkan 'Hai' dan dia kembali berkutat dengan buku Rumus Matematika yang dia pinjam di perpustakaan. Keren bukan? Dan dihari berikutnya aku kembali menyusun rencana agar aku bisa satu kelompok Bahasa Inggris dengannya. Yang pada saat itu aku harus berjuang untuk memohon bantuan sahabatku, Ravael untuk menyusun semua rencananya, dan itu berhasil. Perlahan demi perlahan dia mau berbicara denganku dan pada akhirnya aku bisa akrab dengannya.
Hey, aku Stive Anthony bukan? Stive yang selalu mendapat perhatian penuh dari seluruh murid perempuan yang ada di Veron High School, kecuali dia. Stive yang dengan mudahnya bisa mendapat apa yang kumau, kecuali dia. Stive yang selalu dipuji ketampanan dan kepintarannya oleh semua orang, kecuali dia. Ya, semuanya kudapat kecuali dari dia.
Dan kini, setelah setahun aku bisa memikat hatinya dan menjadi pacar resminya, aku menyia-nyiakannya. Bodohnya aku!! Hanya demi memberinya kejutan dihari ulang tahunnya, aku sampai harus mengabaikannya. Tidak menegurnya selama satu hari penuh, itulah rencana yang dibuat Ravael dan teman Rani yang berambut kuning itu. Tidak menegurnya selama satu hari penuh? Tidak mendengar suaranya selama satu jam saja sudah membuatku rindu setengah mati. Apalagi satu hari penuh tidak berbicara padanya? Bisa gila aku ini.
"Stive Anthony, kau benar-benar ingin memberinya kejutan?" tanya sahabat Rani yang berambut kuning panjang ini sambil berkacak pinggang dihadapanku.
Aku hanya memalingkan mukaku. Dan dapat kurasakan perempuan ini tersenyum. "Baiklah, cukup mengabaikannya satu hari. Lalu datang kerumahnya nanti malam. Bawa kue ulang tahun dan kadomu dan semuanya akan berakhir romantis. Kau mengerti?"
Aku membelakkan mata. Gila!! Satu hari penuh tidak berbicara dengannya itu sama saja dengan membuatnya menangis dan merasa bersalah. "Tidak!!" ucapku tegas.
"Kenapa Stive?" tanya sahabatku yang paling berisik ini.
"Kau gila," aku berdiri membelakangi mereka berdua. "Rani akan sakit kalau dia kuperlakukan begitu."
"Stive," perempuan berambut kuning panjang ini kini berdiri dihadapanku. "Kau melakukan itu karena ingin memberinya kejutan. Jadi lakukan saja, Oke?"
Aku terdiam sejenak. Menimang-nimang keputusan yang mungkin akan memberatkanku ini. "Oke." jawabku pada akhirnya.
Dan sekarang? Apa yang terjadi? Karena aku benar-benar mengabaikannya dihari ini, dia sampai-sampai mengejarku kemanapun aku pergi. Hanya untuk bertanya 'Apa salahku?'. Jujur, pertanyaan itu sungguh menyakitkan. Ingin sekali kukatakan 'Kau tidak salah apa-apa, Rani.', tapi itu hanya akan menghancurkan rencanaku. Sampai saat jam sekolah usai, aku hanya berjalan tanpa menghiraukan Rani yang berlari mengejarku dibelakang.
"Stive, tunggu aku!!" panggil Rani sambil tetap mengikutiku.
"..." Aku? hanya diam.
"Stive! Jelaskan padaku kenapa kau mengabaikanku kayak gini!!" tanya Rani lagi.
"..."
"Stive!!!" dan panggilan itu masih tetap terdengar saat aku menyebrang jalan dipusat kota. Jalanan saat ini terlihat ramai. Mobil dan motor berlalu dengan kecepatan tinggi. Jujur, saat melihat mobil yang melintas, perasaanku jadi tidak enak.
"Stive, tunggu! Sti- aaa~"
CIITT!!! BRUKK!!!
"RANIIII!!!" pemandangan yang benar-benar tidak ingin kulihat. Rani yang saat itu berniat mengejarku kini tersungkur lemah dijalanan dengan luka disekijur tubuhnya. Aku lalu berlari menembus orang-orang yang tengah menegrubungi tubuh Rani.
"Rani!! Rani, bangun!!" aku terus mengguncang tubuh Rani.
"Rani!! Cepat panggilkan ambulans!! CEPAT!!!"
Dan beginilah sekarang. Aku duduk dikursi rumah sakit ini dan terus menyesali perbuatanku yang hampir membunuhnya. Dan Rani? Dia terbaring lemah tak berdaya diruang ICU. Dokter mengatakan bahwa Rani mengalami cidera dikepala dan tulang kakinya yang retak. Sungguh rasanya aku ingin mengulang waktu. Hanya karena rencana bodoh itu, orang yang sangat kusayangi kini terbaring lemah.
-End Stive POV-
"Stive...." Joe muncul dari balik tikungan lorong rumah sakit dan segera menghampiri adik semata wayangnya itu.
"Kakak." Stive hanya bisa memanggil Kakaknya lirih.
"Apa yang terjadi? Kenapa Rani bis-"
"Aku nggak tahu. Aku nggak tahu, Semuanya terjadi begitu cepat dan.. sekarang.." Stive berbicara dengan sangat kacau. Melihat adiknya yang terlihat menyedihkan itu, Joe hanya bisa memeluk Stive. Dan Stive tidak menolak pelukan dari Joe.
'Mungkin Stive benar-benar membutuhkan pelukan ini..' batin Joe.
Tit..Tit..Tit..
Suara monitor pendetak jantung Rani masih menunjukkan angka yang sama, belum membaik sedikitpun. Sudah dua hari Rani koma diruang ICU dan sejak dua hari itulah Stive dengan setianya menunggu Rani. Layaknya putri tidur, kecupan pun diberikan Stive. Dipipi maupun dikening Rani. Dibibir? Sampai sekarang pun Stive belum berani mengecup Rani dibibirnya, meskipun Rani tengah tidur sekalipun.
"Rani, kau harus bangun! Kau tahu betapa aku sangat merindukanmu." ujar Stive lirih sambil menggenggam tangan Rani yang dingin dan memucat.
"Rani, bertahanlah! Demi aku!" pinta Stive.
Tok..Tok..
"Stive, aku masuk!" ujar Ravael yang baru datang bersama dengan Marry. Ravael dan Marry berjalan hingga dia berada disisi kiri ranjang Rani, sedangkan Stive berada disisi kanan Rani.
"Stive, maaf! Gara-gara rencana bodoh kita, Rani-"
"Bukan!" ujar Stive menghentikan ucapan permintaan maaf Marry. "Ini bukan salah kalian. Ini semua salahku."
"Tapi Stive.."
"Jangan meminta maaf lagi! Jangan buatku semakin merasa bersalah! Jangan!!" ujar Stive lirih. Sedetik kemudian dia menenggelamkan wajahnya dibahu Rani.
Ravael dan Marry yang melihat itu tidak bisa berbuat apa-apa. Pada akhirnya mereka pergi setelah memberikan Stive bungkusan makanan yang sengaja dibeli Ravael untuk Stive, karena dia tahu Stive belum makan sejak pagi.
"Rani.."
"Hei Marry!" panggil Ravael. Marry menoleh dan melihat Ravael yang masih menatap langit.
"Apa?"
"Menurutmu Rani bisa sembuh?" tanya Ravael.
Mata Marry membelak, tidak percaya dengan apa yang ditanya Ravael. "Kau tidak boleh berkata seperti itu, Rav-. Rani pasti sembuh."
Ravael diam, lalu dia kembali bertanya. "Tapi kau ingat apa yang dikatakan Kak Joe? Kemungkinan Rani bisa sembuh itu 50:50. Dan walaupun Rani sembuh, dia pasti ca-"
"Nggak!!" Marry membantah. "Rani harus sembuh. Apapun dan bagaimanapun caranya."
"Meskipun dia cacat?" ujar Ravael yang sekarang sama emosinya dengan Marry. "Marry, aku lebih memilih Rani meninggal dengan bahagia daripada dia harus menderita karena cacatnya."
"Dan jika kau menginginkan begitu, kau akan melihat Stive stres." Marry mengambil nafas panjang sebelum dia melanjutkan ucapannya. "Kau tahu Stive sangat ingin melihat Rani membuka matanya lagi, iya kan? Kau tahu kenapa Stive sampai bersikeras tetap berada disamping Rani? Sampai dia harus berpuasa menahan lapar? Karena dia ingin menjadi orang pertama yang Rani lihat saat Rani sadar. Bukan ingin lagi, tapi sangat ingin."
Ravael kini tidak bisa menyela lagi. Dia hanya terdiam, tidak ada gunanya dia menyela lagi. Toh semua yang dikatakan Marry itu benar. "Ya, kau benar Marry."
Sudah seminggu sejak insiden Rani tertabrak mobil, dan selama itu juga Stive enggan untuk masuk sekolah. Berdalih tidak enak badan, nyatanya dia hanya ingin berada disamping Rani. Para sahabat Stive dan Rani mulai berdatangan. Ravael, Diana, Marry, Shun, Jackline, Rika, Edward, Bella, Irene, Kudao, bahkan Geraldo yang notabene adalah mantan pacar Rani pun juga datang. Semua teman Rani tahu bahwa pemuda berambut merah itu sesungguhnya masih menyimpan rasa dengan Rani, tapi dia merelakan gadis pujaannya itu dengan orang lain.
Malam makin larut, angin dingin yang menusuk kulit tidak membuat pemuda berambut hitam kebiruan ini kedinginan. Walaupun keadaan diatas atap rumah sakit ini remang-remang -karena hanya sinar bulan yang menerangi- tapi toh dia tetap juga kesitu. Dengan berbekal jaket kulit hitamnya, dia duduk diatas besi penyanggah dan menatap ke pusat kota yang semakin malam, semakin ramai.
"Huh!" nafas panjang pun dihembuskannya, tanda bahwa dia lelah. Tapi selelah-lelahnya Stive, kalau untuk Rani Rich, apapun akan dia lakukan. Memang tipe pasangan yang setia.
Cinta adalah misteri dalam hidupku..
Yang tak pernah ku tahu akhirnya..
Sebuah lagu pun mengalun menemani Stive. Lagu sedih yang memiliki makna yang dalam, sebuah lagu yang berjudul Kuingin S'lamanya...
Namun tak seperti cintaku pada dirimu..
Yang harus tergenapi dalam kisah hidupku..
"Rani, aku mau bicara sesuatu!" pinta Stive yang kemudian menggenggam tangan Rani dan membawanya ke Gym yang saat itu kosong.
"Ada apa, Stive?" tanya Rani bingung.
Stive tidak menjawab, dia hanya memandang Rani dalam diam. Dan tanpa disadari Rani, tiba-tiba Stive memeluknya.
"S-Stive.."
"Jadilah pacarku, Ran..!! Aku mohon!!" setelah mendengar itu, Rani tersenyum. Lalu membalas pelukan Stive.
"Ya, aku mau.."
Ku ingin slamanya mencintai dirimu..
Sampai saat ku akan menutup mata dan hidupku..
Ku ingin slamanya ada di sampingmu..
Menyayangi dirimu sampai waktu kan memanggilku..
"M-mau apa kau, Rachel?"
Rachel tersenyum sinis. "Hah? Mau apa? Yang jelas aku mau My Dear Stive kembali padaku!"
Rani membelakkan mata. Dia mencoba mencari pertolongan dengan melihat sekitarnya, tapi tidak ada siapapun. Memang, tempatnya saat ini berada didekat hutan. Jadi jarang ada orang yang lewat.
"Kau mencari apa, Rani? Pertolongan? Tidak akan ada orang yang lewat. Ini daerah hutan, dan hanya ada aku dan kau. Jadi.." Rachel tidak melanjutkan ucapannya, tapi dia mengeluarkan gunting dari saku rok sekolahnya.
"Ra-Rachel, k-kau mau a-apa?" tanya Rani ketakutan, karena semakin Rani mundur, semakin maju Rachel berjalan.
"Aku mau potong rambutmu, puas?"
"T-tapi kenapa?" Rani semakin mundur. Hingga dia menabrak pohon, dan kini Rani benar-benar terpojok.
"Kenapa?" tanya Rachel sambil tersenyum sinis. "Nggak bisa mundur?"
"Karin, aku mohon jangan!" pinta Rani.
"Jangan? Lepaskan dulu Stive dan aku akan melepaskanmu. Atau-" Rachel kini sudah menarik rambut Rani dan segera mengarahkan gunting tajam itu ke rambut Rani.
"Jangan!!!!" teriak Rani yang hanya bisa menutup matanya. Tapi kunjungan gunting yang diarahkan Rachel tak kunjung datang. Saat Rani membuka matanya, terlihat siluet pahlawannya yang berdiri dihadapannya memegang tangan Rachel.
"S-Stive?" kini giliran Rachel yang tercengang. Stive datang dan menghentikan Rachel yang hampir memotong mahkota Rani. "T-tapi kenapa.."
"Ravael yang memberitahuku." ujar Stive datar. Dia lalu menggenggam tangan Rani yang dingin. "Ayo!" Stive lalu membawa Rani ke mobil Honda Stream Hyper-Sport Concept miliknya.
"Stive!" panggil Rachel sebelum Stive masuk mobilnya. "A-aku-"
"Jangan pernah ganggu Rani lagi!!" kecam Stive. Dia lalu masuk ke mobilnya dan meninggalkan Rachel sendirian.
Ku berharap abadi dalam hidupku..
Mencintamu bahagia untukku..
Karena kasihku hanya untuk dirimu..
Selamanya kan tetap milikmu..
"Stive, nanti kalau kau ulang tahun, mau kado apa?" tanya Rani dengan wajah polosnya.
Stive menatap Rani yang duduk didepannya, lalu kembali berkutat dengan buku fisikanya. "Entah!"
Rani yang mendengar jawaban itu hanya menggembungkan pipinya. Dia lalu berjalan hingga berada disamping Stive yang masih berkutat dengan bukunya. "Stive, yang benar dong! Kau itu mau hadiah apa? Bilang aja, akan kuusahakan untuk memberikan apa yang kau mau."
Stive mengangkat alisnya, lalu dai tersenyum kecil. "Kau beneran mau tahu?" tanyanya.
"Ya." jawab Rani. Tiba-tiba saja Stive menarik tangan Rani hingga dia jatuh dipangkuannya.
"S-Stive.." Stive tidak menjawab. Dia hanya memegang dagu Rani, perlahan memajukan wajahnya, memperkecil jarak antara dia dengan Rani. Rani sendiripun tidak menolak. Dia ikut memajukan wajahnya. Hingga jarak antara mereka sudah 2 cm, tiba-tiba..
"STIVE!! AYO PULANG!!!" Ravael dari balik pintu kelas berteriak, memanggil Stive. Spontan Stive dan Rani menjauhkan diri, dengan wajah yang sudah sangat merah tentunya.
'Ravael Sialan!!!..' runtuk Stive dalam hati. Stive lalu melihat Rani yang kini sudah memerah mukanya. Lalu ditariknya tangan Rani dan dikecupnya kening Rani. Hal itu spontan membuat wajah Rani makin merah padam.
"Ayo!" ajak Stive sembari menarik tangan Rani lembut. Rani tersenyum manis dan berjalan pulang kerumah dalam genggaman Stive.
Ku ingin slamanya mencintai dirimu..
Sampai saat ku akan menutup mata dan hidupku..
Ku ingin slamanya ada di sampingmu..
Menyayangi dirimu sampai waktu kan memanggilku..
"Stive, menurutmu kita bisa bersama selamanya?" Rani menyandarkan kepalanya dibahu Stive.
"Entah."
Rani memggembungkan pipinya hingga berisi seperti balon, membuat Stive mencibit pipi chubby Rani.
"Stive. sakit!" ujar Rani sambil mengelus pipinya yang memerah.
Stive hanya tersenyum kecil, lalu dirangkulnya Rani dan dipeluknya gadis berambut lavender itu erat. Seakan tidak mau melepaskannya lagi. Sedangkan Rani? Hanya membalas pelukan Stive.
Di relung sukmaku
Ku labuhkan s'luruh cintaku
"Stive, tunggu aku!!"
"..."
"Stive! Jelaskan padaku kenapa kau mengabaikanku kayak gini!!"
"..."
"Stive!!!"
"Stive, tungg- aaa~"
Di hembus nafasku
Ku abadikan s'luruh kasih dan sayangku
"AAKKHH!!!" teriak Stive sambil mencengkram keras rambutnya.
Ku ingin slamanya mencintai dirimu..
Sampai saat ku akan menutup mata dan hidupku..
Ku ingin slamanya ada di sampingmu..
Menyayangi dirimu sampai waktu kan memanggilku..
"Rani.."
"Ugh.." Rani membuka matanya yang terasa berat. Perlahan tapi pasti Rani mulai bersosialisasi dengan cahaya lampu yang menyinarinya.
"Rani, kau sudah sadar?" Joe lah yang pertama menyadari bahwa Rani sudah sadar.
"K-Kak Jo..?" Rani mulai bangun perlahan-lahan, tapi luka diperutnya belum sembuh benar, jadi dia masih meringis kesakitan. "I-ini dimana?" tanya Rani.
"Ini diruang 280. Kau sempat inap diruang ICU selama seminggu. Baru saja dokter mengatakan kau sudah dalam kondisi stabil, dan atas izinku kau dipindahkan diruang ini. Rani, tidurlah dulu!" ujar Joe. "Biar aku panggilkan Stive dulu, Oke?"
Saat Joe akan pergi, Rani menahan tangannya. "Kak, apa Stive marah padaku?" tanya Rani.
Joe tersenyum, lalu dia kembali duduk dikursi samping ranjang Rani. "Ran.., Stive itu tidak marah padamu. Dia malah sangat menyayangimu."
"M-maksud Kakak?"
"Stive itu sengaja mengabaikanmu karena dia ingin memberikan pesta kejutan hari ulang tahunmu. Dia berencana akan mengajakmu dinner saat malam dihari ulang tahunmu. Tapi, kau saat itu terbaring lemah dirumah sakit. Dan dia benar-benar menyesali kesalahannya. Dia terus menyalahkan dirinya akan kecelakaan yang menimpamu." terang Joe.
Rani terdiam. Dia merasa kacau perasaannya saat ini. Lalu dia menatap Joe yang masih melihat kearah jendela kamar. "Lalu.. kemana Stive sekarang, Kak?" tanya Rani.
Joe tidak menjawab. Dia hanya tersenyum. Hal itu membuat Rani bingung plus takut.
CKLEK..
Pintu atap rumah sakit terbuka, menandakan ada seseorang yang masuk kedalam. Tapi meskipun begitu, Stive tidak menghiraukan tamunya itu sama sekali.
"Stive!" panggil pemuda yang 5 tahun lebih tua dari Stive ini. Meskipun dipanggil, tapi Stive tetap tidak mengindahkannya.
"Stive.." panggil gadis berambut Lavender, lembut. Saat mendengar suara Rani, Stive berbalik. Menemukan Hime-nya yang kini duduk dikursi roda dengan wajah yang masih pucat.
"Ra-Rani?" tanya Stive bingung. Pasalnya Rani yang kini dilihatnya seperti malaikat dengan dress putih selutut tanpa lengan, meskipun kondisinya kini masih duduk dikursi roda.
Joe lalu mendorong kursi roda Rani perlahan, dan membawanya tepat dihadapan Stive. "Aku pergi!" ujarnya yang kemudian keluar dan meninggalkan adiknya ini bersama malaikatnya.
"Stive.." panggil Rani sambil menjulurkan tangannya, seperti anak kecil yang mengharapkan pelukan dari Ibunya. Stive tersenyum kecil dan menghamburkan diri dipelukan Rani.
"Ran…, aku.."
"Sstt.. Jangan bilang apapun. Kak Joe sudah menjelaskan semuanya. Bukan salahmu aku begini. Ini semua salahku yang terlalu memaksakan kehendakku. Aku-" penjelasan Rani terpotong karena Stive membekap mulut Rani dengan tangannya. Semakin lengkap pula penderitaan Rani karena wajah Sasuke kini sejajar dengan wajahnya.
"Happy birthday Rani!!" ujar Stive sembari melepas tangannya dari mulut Rani. Belum sempat Rani berkata-kata apa-apa, Stive sudah menciumnya lembut. Sebuah ciuman yang lama tapi tanpa nafsu sama sekali dari kedua belah pihak.
Setelah benar-benar membutuhkan pasokan oksigen, Stive memisahkan diri dari Rani. Lalu dia melepas jaket kulitnya dan memakaikannya ke tubuh Rani. Lalu didorongnya kursi roda Rani perlahan dan mereka kembali kekamar 280.
"Happy birthday Rani! I Love You.."
“I Love You To Stive……..”
"..."
"Stive! Jelaskan padaku kenapa kau mengabaikanku kayak gini!!"
"..."
"Stive!!!"
"Stive, tungg- aaa~"
"RANIIII!!!"
- Stive POV -
Salahku! Ini semua salahku! Ini semua salahku hingga dia begini. Salahku dia harus merasa dijauhi. Salahku dia harus kecapaian berlari mengejarku. Salahku dia harus terbaring. Bila hanya merasa dijauhi atau capai, itu tidak masalah. Tapi terbaring?
Aku Stive Anthony, siswa kelas 2-1, siswa yang selalu mendapat peringkat pertama, merupakan murid dengan Fans Club terbanyak di Veron High School, siswa yang sangat populer, dan merupakan satu dari lima murid terkaya di Veron High School.
Itu semua merupakan kelebihanku. Mereka bilang aku adalah manusia yang perfect, tidak mempunyai cela sedikitpun. Tapi mereka salah. Sesempurnanya manusia, pastinya mereka akan mempunyai cela, walaupun tidak nampak.
Dan inilah kelemahanku. Aku.. Paling.. Bodoh.. Dengan.. Cinta..
Lucu kan? Aku rasa tidak. Aku yang selalu dipuji dengan ucapan 'kau pintar sekali, Sasuke', ternyata lemah dengan cinta. Hingga dia datang ke dalam hidupku.
Dia, hanyalah gadis biasa. Dia, berasal dari kalangan keluarga sederhana. Dia, yang merubah kepribadianku luar dan dalam. Dialah kekasih pertamaku, Rani Rich.
Cukup sulit untukku untuk mendapatkan hatinya. Dia yang saat pertama masuk Veron High School ini sangat tergila-gila dengan pelajaran dan mengesampingkan masalah pribadi. Akupun mulai mendekatinya dan bersapa ringan. Hanya saling mengucapkan 'Hai' dan dia kembali berkutat dengan buku Rumus Matematika yang dia pinjam di perpustakaan. Keren bukan? Dan dihari berikutnya aku kembali menyusun rencana agar aku bisa satu kelompok Bahasa Inggris dengannya. Yang pada saat itu aku harus berjuang untuk memohon bantuan sahabatku, Ravael untuk menyusun semua rencananya, dan itu berhasil. Perlahan demi perlahan dia mau berbicara denganku dan pada akhirnya aku bisa akrab dengannya.
Hey, aku Stive Anthony bukan? Stive yang selalu mendapat perhatian penuh dari seluruh murid perempuan yang ada di Veron High School, kecuali dia. Stive yang dengan mudahnya bisa mendapat apa yang kumau, kecuali dia. Stive yang selalu dipuji ketampanan dan kepintarannya oleh semua orang, kecuali dia. Ya, semuanya kudapat kecuali dari dia.
Dan kini, setelah setahun aku bisa memikat hatinya dan menjadi pacar resminya, aku menyia-nyiakannya. Bodohnya aku!! Hanya demi memberinya kejutan dihari ulang tahunnya, aku sampai harus mengabaikannya. Tidak menegurnya selama satu hari penuh, itulah rencana yang dibuat Ravael dan teman Rani yang berambut kuning itu. Tidak menegurnya selama satu hari penuh? Tidak mendengar suaranya selama satu jam saja sudah membuatku rindu setengah mati. Apalagi satu hari penuh tidak berbicara padanya? Bisa gila aku ini.
"Stive Anthony, kau benar-benar ingin memberinya kejutan?" tanya sahabat Rani yang berambut kuning panjang ini sambil berkacak pinggang dihadapanku.
Aku hanya memalingkan mukaku. Dan dapat kurasakan perempuan ini tersenyum. "Baiklah, cukup mengabaikannya satu hari. Lalu datang kerumahnya nanti malam. Bawa kue ulang tahun dan kadomu dan semuanya akan berakhir romantis. Kau mengerti?"
Aku membelakkan mata. Gila!! Satu hari penuh tidak berbicara dengannya itu sama saja dengan membuatnya menangis dan merasa bersalah. "Tidak!!" ucapku tegas.
"Kenapa Stive?" tanya sahabatku yang paling berisik ini.
"Kau gila," aku berdiri membelakangi mereka berdua. "Rani akan sakit kalau dia kuperlakukan begitu."
"Stive," perempuan berambut kuning panjang ini kini berdiri dihadapanku. "Kau melakukan itu karena ingin memberinya kejutan. Jadi lakukan saja, Oke?"
Aku terdiam sejenak. Menimang-nimang keputusan yang mungkin akan memberatkanku ini. "Oke." jawabku pada akhirnya.
Dan sekarang? Apa yang terjadi? Karena aku benar-benar mengabaikannya dihari ini, dia sampai-sampai mengejarku kemanapun aku pergi. Hanya untuk bertanya 'Apa salahku?'. Jujur, pertanyaan itu sungguh menyakitkan. Ingin sekali kukatakan 'Kau tidak salah apa-apa, Rani.', tapi itu hanya akan menghancurkan rencanaku. Sampai saat jam sekolah usai, aku hanya berjalan tanpa menghiraukan Rani yang berlari mengejarku dibelakang.
"Stive, tunggu aku!!" panggil Rani sambil tetap mengikutiku.
"..." Aku? hanya diam.
"Stive! Jelaskan padaku kenapa kau mengabaikanku kayak gini!!" tanya Rani lagi.
"..."
"Stive!!!" dan panggilan itu masih tetap terdengar saat aku menyebrang jalan dipusat kota. Jalanan saat ini terlihat ramai. Mobil dan motor berlalu dengan kecepatan tinggi. Jujur, saat melihat mobil yang melintas, perasaanku jadi tidak enak.
"Stive, tunggu! Sti- aaa~"
CIITT!!! BRUKK!!!
"RANIIII!!!" pemandangan yang benar-benar tidak ingin kulihat. Rani yang saat itu berniat mengejarku kini tersungkur lemah dijalanan dengan luka disekijur tubuhnya. Aku lalu berlari menembus orang-orang yang tengah menegrubungi tubuh Rani.
"Rani!! Rani, bangun!!" aku terus mengguncang tubuh Rani.
"Rani!! Cepat panggilkan ambulans!! CEPAT!!!"
Dan beginilah sekarang. Aku duduk dikursi rumah sakit ini dan terus menyesali perbuatanku yang hampir membunuhnya. Dan Rani? Dia terbaring lemah tak berdaya diruang ICU. Dokter mengatakan bahwa Rani mengalami cidera dikepala dan tulang kakinya yang retak. Sungguh rasanya aku ingin mengulang waktu. Hanya karena rencana bodoh itu, orang yang sangat kusayangi kini terbaring lemah.
-End Stive POV-
"Stive...." Joe muncul dari balik tikungan lorong rumah sakit dan segera menghampiri adik semata wayangnya itu.
"Kakak." Stive hanya bisa memanggil Kakaknya lirih.
"Apa yang terjadi? Kenapa Rani bis-"
"Aku nggak tahu. Aku nggak tahu, Semuanya terjadi begitu cepat dan.. sekarang.." Stive berbicara dengan sangat kacau. Melihat adiknya yang terlihat menyedihkan itu, Joe hanya bisa memeluk Stive. Dan Stive tidak menolak pelukan dari Joe.
'Mungkin Stive benar-benar membutuhkan pelukan ini..' batin Joe.
Tit..Tit..Tit..
Suara monitor pendetak jantung Rani masih menunjukkan angka yang sama, belum membaik sedikitpun. Sudah dua hari Rani koma diruang ICU dan sejak dua hari itulah Stive dengan setianya menunggu Rani. Layaknya putri tidur, kecupan pun diberikan Stive. Dipipi maupun dikening Rani. Dibibir? Sampai sekarang pun Stive belum berani mengecup Rani dibibirnya, meskipun Rani tengah tidur sekalipun.
"Rani, kau harus bangun! Kau tahu betapa aku sangat merindukanmu." ujar Stive lirih sambil menggenggam tangan Rani yang dingin dan memucat.
"Rani, bertahanlah! Demi aku!" pinta Stive.
Tok..Tok..
"Stive, aku masuk!" ujar Ravael yang baru datang bersama dengan Marry. Ravael dan Marry berjalan hingga dia berada disisi kiri ranjang Rani, sedangkan Stive berada disisi kanan Rani.
"Stive, maaf! Gara-gara rencana bodoh kita, Rani-"
"Bukan!" ujar Stive menghentikan ucapan permintaan maaf Marry. "Ini bukan salah kalian. Ini semua salahku."
"Tapi Stive.."
"Jangan meminta maaf lagi! Jangan buatku semakin merasa bersalah! Jangan!!" ujar Stive lirih. Sedetik kemudian dia menenggelamkan wajahnya dibahu Rani.
Ravael dan Marry yang melihat itu tidak bisa berbuat apa-apa. Pada akhirnya mereka pergi setelah memberikan Stive bungkusan makanan yang sengaja dibeli Ravael untuk Stive, karena dia tahu Stive belum makan sejak pagi.
"Rani.."
"Hei Marry!" panggil Ravael. Marry menoleh dan melihat Ravael yang masih menatap langit.
"Apa?"
"Menurutmu Rani bisa sembuh?" tanya Ravael.
Mata Marry membelak, tidak percaya dengan apa yang ditanya Ravael. "Kau tidak boleh berkata seperti itu, Rav-. Rani pasti sembuh."
Ravael diam, lalu dia kembali bertanya. "Tapi kau ingat apa yang dikatakan Kak Joe? Kemungkinan Rani bisa sembuh itu 50:50. Dan walaupun Rani sembuh, dia pasti ca-"
"Nggak!!" Marry membantah. "Rani harus sembuh. Apapun dan bagaimanapun caranya."
"Meskipun dia cacat?" ujar Ravael yang sekarang sama emosinya dengan Marry. "Marry, aku lebih memilih Rani meninggal dengan bahagia daripada dia harus menderita karena cacatnya."
"Dan jika kau menginginkan begitu, kau akan melihat Stive stres." Marry mengambil nafas panjang sebelum dia melanjutkan ucapannya. "Kau tahu Stive sangat ingin melihat Rani membuka matanya lagi, iya kan? Kau tahu kenapa Stive sampai bersikeras tetap berada disamping Rani? Sampai dia harus berpuasa menahan lapar? Karena dia ingin menjadi orang pertama yang Rani lihat saat Rani sadar. Bukan ingin lagi, tapi sangat ingin."
Ravael kini tidak bisa menyela lagi. Dia hanya terdiam, tidak ada gunanya dia menyela lagi. Toh semua yang dikatakan Marry itu benar. "Ya, kau benar Marry."
Sudah seminggu sejak insiden Rani tertabrak mobil, dan selama itu juga Stive enggan untuk masuk sekolah. Berdalih tidak enak badan, nyatanya dia hanya ingin berada disamping Rani. Para sahabat Stive dan Rani mulai berdatangan. Ravael, Diana, Marry, Shun, Jackline, Rika, Edward, Bella, Irene, Kudao, bahkan Geraldo yang notabene adalah mantan pacar Rani pun juga datang. Semua teman Rani tahu bahwa pemuda berambut merah itu sesungguhnya masih menyimpan rasa dengan Rani, tapi dia merelakan gadis pujaannya itu dengan orang lain.
Malam makin larut, angin dingin yang menusuk kulit tidak membuat pemuda berambut hitam kebiruan ini kedinginan. Walaupun keadaan diatas atap rumah sakit ini remang-remang -karena hanya sinar bulan yang menerangi- tapi toh dia tetap juga kesitu. Dengan berbekal jaket kulit hitamnya, dia duduk diatas besi penyanggah dan menatap ke pusat kota yang semakin malam, semakin ramai.
"Huh!" nafas panjang pun dihembuskannya, tanda bahwa dia lelah. Tapi selelah-lelahnya Stive, kalau untuk Rani Rich, apapun akan dia lakukan. Memang tipe pasangan yang setia.
Cinta adalah misteri dalam hidupku..
Yang tak pernah ku tahu akhirnya..
Sebuah lagu pun mengalun menemani Stive. Lagu sedih yang memiliki makna yang dalam, sebuah lagu yang berjudul Kuingin S'lamanya...
Namun tak seperti cintaku pada dirimu..
Yang harus tergenapi dalam kisah hidupku..
"Rani, aku mau bicara sesuatu!" pinta Stive yang kemudian menggenggam tangan Rani dan membawanya ke Gym yang saat itu kosong.
"Ada apa, Stive?" tanya Rani bingung.
Stive tidak menjawab, dia hanya memandang Rani dalam diam. Dan tanpa disadari Rani, tiba-tiba Stive memeluknya.
"S-Stive.."
"Jadilah pacarku, Ran..!! Aku mohon!!" setelah mendengar itu, Rani tersenyum. Lalu membalas pelukan Stive.
"Ya, aku mau.."
Ku ingin slamanya mencintai dirimu..
Sampai saat ku akan menutup mata dan hidupku..
Ku ingin slamanya ada di sampingmu..
Menyayangi dirimu sampai waktu kan memanggilku..
"M-mau apa kau, Rachel?"
Rachel tersenyum sinis. "Hah? Mau apa? Yang jelas aku mau My Dear Stive kembali padaku!"
Rani membelakkan mata. Dia mencoba mencari pertolongan dengan melihat sekitarnya, tapi tidak ada siapapun. Memang, tempatnya saat ini berada didekat hutan. Jadi jarang ada orang yang lewat.
"Kau mencari apa, Rani? Pertolongan? Tidak akan ada orang yang lewat. Ini daerah hutan, dan hanya ada aku dan kau. Jadi.." Rachel tidak melanjutkan ucapannya, tapi dia mengeluarkan gunting dari saku rok sekolahnya.
"Ra-Rachel, k-kau mau a-apa?" tanya Rani ketakutan, karena semakin Rani mundur, semakin maju Rachel berjalan.
"Aku mau potong rambutmu, puas?"
"T-tapi kenapa?" Rani semakin mundur. Hingga dia menabrak pohon, dan kini Rani benar-benar terpojok.
"Kenapa?" tanya Rachel sambil tersenyum sinis. "Nggak bisa mundur?"
"Karin, aku mohon jangan!" pinta Rani.
"Jangan? Lepaskan dulu Stive dan aku akan melepaskanmu. Atau-" Rachel kini sudah menarik rambut Rani dan segera mengarahkan gunting tajam itu ke rambut Rani.
"Jangan!!!!" teriak Rani yang hanya bisa menutup matanya. Tapi kunjungan gunting yang diarahkan Rachel tak kunjung datang. Saat Rani membuka matanya, terlihat siluet pahlawannya yang berdiri dihadapannya memegang tangan Rachel.
"S-Stive?" kini giliran Rachel yang tercengang. Stive datang dan menghentikan Rachel yang hampir memotong mahkota Rani. "T-tapi kenapa.."
"Ravael yang memberitahuku." ujar Stive datar. Dia lalu menggenggam tangan Rani yang dingin. "Ayo!" Stive lalu membawa Rani ke mobil Honda Stream Hyper-Sport Concept miliknya.
"Stive!" panggil Rachel sebelum Stive masuk mobilnya. "A-aku-"
"Jangan pernah ganggu Rani lagi!!" kecam Stive. Dia lalu masuk ke mobilnya dan meninggalkan Rachel sendirian.
Ku berharap abadi dalam hidupku..
Mencintamu bahagia untukku..
Karena kasihku hanya untuk dirimu..
Selamanya kan tetap milikmu..
"Stive, nanti kalau kau ulang tahun, mau kado apa?" tanya Rani dengan wajah polosnya.
Stive menatap Rani yang duduk didepannya, lalu kembali berkutat dengan buku fisikanya. "Entah!"
Rani yang mendengar jawaban itu hanya menggembungkan pipinya. Dia lalu berjalan hingga berada disamping Stive yang masih berkutat dengan bukunya. "Stive, yang benar dong! Kau itu mau hadiah apa? Bilang aja, akan kuusahakan untuk memberikan apa yang kau mau."
Stive mengangkat alisnya, lalu dai tersenyum kecil. "Kau beneran mau tahu?" tanyanya.
"Ya." jawab Rani. Tiba-tiba saja Stive menarik tangan Rani hingga dia jatuh dipangkuannya.
"S-Stive.." Stive tidak menjawab. Dia hanya memegang dagu Rani, perlahan memajukan wajahnya, memperkecil jarak antara dia dengan Rani. Rani sendiripun tidak menolak. Dia ikut memajukan wajahnya. Hingga jarak antara mereka sudah 2 cm, tiba-tiba..
"STIVE!! AYO PULANG!!!" Ravael dari balik pintu kelas berteriak, memanggil Stive. Spontan Stive dan Rani menjauhkan diri, dengan wajah yang sudah sangat merah tentunya.
'Ravael Sialan!!!..' runtuk Stive dalam hati. Stive lalu melihat Rani yang kini sudah memerah mukanya. Lalu ditariknya tangan Rani dan dikecupnya kening Rani. Hal itu spontan membuat wajah Rani makin merah padam.
"Ayo!" ajak Stive sembari menarik tangan Rani lembut. Rani tersenyum manis dan berjalan pulang kerumah dalam genggaman Stive.
Ku ingin slamanya mencintai dirimu..
Sampai saat ku akan menutup mata dan hidupku..
Ku ingin slamanya ada di sampingmu..
Menyayangi dirimu sampai waktu kan memanggilku..
"Stive, menurutmu kita bisa bersama selamanya?" Rani menyandarkan kepalanya dibahu Stive.
"Entah."
Rani memggembungkan pipinya hingga berisi seperti balon, membuat Stive mencibit pipi chubby Rani.
"Stive. sakit!" ujar Rani sambil mengelus pipinya yang memerah.
Stive hanya tersenyum kecil, lalu dirangkulnya Rani dan dipeluknya gadis berambut lavender itu erat. Seakan tidak mau melepaskannya lagi. Sedangkan Rani? Hanya membalas pelukan Stive.
Di relung sukmaku
Ku labuhkan s'luruh cintaku
"Stive, tunggu aku!!"
"..."
"Stive! Jelaskan padaku kenapa kau mengabaikanku kayak gini!!"
"..."
"Stive!!!"
"Stive, tungg- aaa~"
Di hembus nafasku
Ku abadikan s'luruh kasih dan sayangku
"AAKKHH!!!" teriak Stive sambil mencengkram keras rambutnya.
Ku ingin slamanya mencintai dirimu..
Sampai saat ku akan menutup mata dan hidupku..
Ku ingin slamanya ada di sampingmu..
Menyayangi dirimu sampai waktu kan memanggilku..
"Rani.."
"Ugh.." Rani membuka matanya yang terasa berat. Perlahan tapi pasti Rani mulai bersosialisasi dengan cahaya lampu yang menyinarinya.
"Rani, kau sudah sadar?" Joe lah yang pertama menyadari bahwa Rani sudah sadar.
"K-Kak Jo..?" Rani mulai bangun perlahan-lahan, tapi luka diperutnya belum sembuh benar, jadi dia masih meringis kesakitan. "I-ini dimana?" tanya Rani.
"Ini diruang 280. Kau sempat inap diruang ICU selama seminggu. Baru saja dokter mengatakan kau sudah dalam kondisi stabil, dan atas izinku kau dipindahkan diruang ini. Rani, tidurlah dulu!" ujar Joe. "Biar aku panggilkan Stive dulu, Oke?"
Saat Joe akan pergi, Rani menahan tangannya. "Kak, apa Stive marah padaku?" tanya Rani.
Joe tersenyum, lalu dia kembali duduk dikursi samping ranjang Rani. "Ran.., Stive itu tidak marah padamu. Dia malah sangat menyayangimu."
"M-maksud Kakak?"
"Stive itu sengaja mengabaikanmu karena dia ingin memberikan pesta kejutan hari ulang tahunmu. Dia berencana akan mengajakmu dinner saat malam dihari ulang tahunmu. Tapi, kau saat itu terbaring lemah dirumah sakit. Dan dia benar-benar menyesali kesalahannya. Dia terus menyalahkan dirinya akan kecelakaan yang menimpamu." terang Joe.
Rani terdiam. Dia merasa kacau perasaannya saat ini. Lalu dia menatap Joe yang masih melihat kearah jendela kamar. "Lalu.. kemana Stive sekarang, Kak?" tanya Rani.
Joe tidak menjawab. Dia hanya tersenyum. Hal itu membuat Rani bingung plus takut.
CKLEK..
Pintu atap rumah sakit terbuka, menandakan ada seseorang yang masuk kedalam. Tapi meskipun begitu, Stive tidak menghiraukan tamunya itu sama sekali.
"Stive!" panggil pemuda yang 5 tahun lebih tua dari Stive ini. Meskipun dipanggil, tapi Stive tetap tidak mengindahkannya.
"Stive.." panggil gadis berambut Lavender, lembut. Saat mendengar suara Rani, Stive berbalik. Menemukan Hime-nya yang kini duduk dikursi roda dengan wajah yang masih pucat.
"Ra-Rani?" tanya Stive bingung. Pasalnya Rani yang kini dilihatnya seperti malaikat dengan dress putih selutut tanpa lengan, meskipun kondisinya kini masih duduk dikursi roda.
Joe lalu mendorong kursi roda Rani perlahan, dan membawanya tepat dihadapan Stive. "Aku pergi!" ujarnya yang kemudian keluar dan meninggalkan adiknya ini bersama malaikatnya.
"Stive.." panggil Rani sambil menjulurkan tangannya, seperti anak kecil yang mengharapkan pelukan dari Ibunya. Stive tersenyum kecil dan menghamburkan diri dipelukan Rani.
"Ran…, aku.."
"Sstt.. Jangan bilang apapun. Kak Joe sudah menjelaskan semuanya. Bukan salahmu aku begini. Ini semua salahku yang terlalu memaksakan kehendakku. Aku-" penjelasan Rani terpotong karena Stive membekap mulut Rani dengan tangannya. Semakin lengkap pula penderitaan Rani karena wajah Sasuke kini sejajar dengan wajahnya.
"Happy birthday Rani!!" ujar Stive sembari melepas tangannya dari mulut Rani. Belum sempat Rani berkata-kata apa-apa, Stive sudah menciumnya lembut. Sebuah ciuman yang lama tapi tanpa nafsu sama sekali dari kedua belah pihak.
Setelah benar-benar membutuhkan pasokan oksigen, Stive memisahkan diri dari Rani. Lalu dia melepas jaket kulitnya dan memakaikannya ke tubuh Rani. Lalu didorongnya kursi roda Rani perlahan dan mereka kembali kekamar 280.
"Happy birthday Rani! I Love You.."
“I Love You To Stive……..”
Rionyx
A LAST NIGHT WITH YOU
A LAST NIGHT WITH YOU
Tak kusangka liburan kali ini akan sangat
melelahkan. Seminggu melakukan pendakian di gunung kelabat memang sangat
melelahkan.Sebenarnya aku juga tidak mau menghabiskan acara liburanku dengan
melakukan pendakian macam ini.Tapi ini semua adalah kemauan orang tuaku, dan
aku sebagai anak yang memiliki sifat yang sangat hormat kepada orang tuaku, mau
tidak mau aku harus ikut bersama dengan mereka. Padahal sebelumnya, dari jauh
hari sebelum liburan, aku sudah menjadwalkan kegiatanku selama liburan.Tapi
semuanya sia-sia, aku harus membatalkan semua acara liburanku saat itu dan
mengikuti orang tuaku dalam pendakian mereka.
Singkat cerita, aku
dan kedua orang tuaku sudah pulang dari acara liburan kami di gunung, alias
pendakian kami. Dan karena jarak antara gunung kelabat dan rumah ku yang agak
jauh, dan juga ditambah dengan macetnya jalan raya, aku dan keluargaku sampai
di rumah pada pukul tujuh malam. Padahal kami berangkat dari pukul delapan
pagi.
Sesampainya dirumah,
aku langsung bergegas ke kamar mandi, yang berada di kamarku. Maklum kamar
tidurku sudah dilengkapi dengan kamar mandi pribadi, jadi tidak usah repot jika
mau mandi atau yang lainnya, yang memerlukan ruangan tersebut.
Aku membuat penuh
bathub dengan air yang hangat.Tak butuh waktu lama, aku segera masuk ke dalam
bathub setelah sebelumnya membuka seluruh pakaianku.
“Ahhh, sungguh
nikmat.”Ucapku ketika merasakan betapa nikamatnya mandi dengan air hangat
setelah seminggu di pendakian. Aku hanya memerlukan sepuluh menit di dalam bathub
untuk menyegarkan pikiranku. Setelah aku keluar dari dalam baathub, aku segera
ke kamar dan mengenakan pakaian yang sebelumnya telah kusiapkan.
Mataku sudah
benar-benar tidak bisa diajak kompromi. Sekarang aku sudah benar-benar
mengantuk, ini pasti karena aku kecape’an setelah pendakaian. Aku segera
membariangkan tubuhku di atas kasur dan tak butuh waktu lama segera memasuki
alam mimpiku.
.
.
.
.
DZZZT....
DZZZT....
Suara dan getaran
yang ditimbulkan handphone menggetkanku. Padahal aku baru tidur selama lima
belas menit.
“Ck, siapa sih yang
ganggu!? Gak tau apa kalau gue udah capek banget!?” gerutuku dalam hati pada
orang yang menelponku. Paahal jika dipikirkan secara logika orang itu tidak
mungkin tahu kan kalau aku sedang kelelahan, apalagi yang ku lihat adalah nomor
baru.
“Hal….”
“HALLOOO SAYANG” Belum sempat aku meneruskan
sapaanku, orang yang menelponku sudah mendahului dengan mengeluarkan yang tidak
bisa dibilang pelan. Reflex aku harus menjauhkan handphone dari telinga.
“Hwaaa!! Siapa sih lo!?Ganggu orang aja!!!”Aku berteriak
karena saking kesalnya dengan orang itu.
“Ah, sayang, ini aku masa kamu gak kenal dengan
suaraku?hahaha” Orang ituterus saja memanggilku dengan sebutan sayang.
Lama-kalemaan aku mulai bisa mengenali siapa itu.
“Kau? Nico?”Tanyaku.
“Ahahaha, akhirnya kamu mengenaliku juga,
sayang Riny” Ah, ternyata dugganku memang benar, dia adalah Nico.
“Gak usah pakai sayang kali.”Ucapku berusaha
dibuat dengan suara memelas.Tetapi yang sebenarnya, aku sangat senang dia
memangggilku dengan sebutan sayang. Karena sebenarnya aku suka padanya. Tetapi
aku sangat malu mengatakannya. Aku malu mengatakan apa yang aku rasakan pada
Nico. Karena aku berpikir aku tak layak dengannya .Ya, dia adalah orang terpenting
di sekolah, sedangkan aku? Aku hanyalah murid biasa yang selalu melihatnya dari
kejauhan, bahkan aku tak berani mendekatinya walaupun hanya semeter saja. Tatapi
entah kenapa, sekarang dengan telingaku sendiri, aku mendengar dia memanggilku
sayang. Dia memanggilku dengan sebutan sayang. Padahal sebelumnya dia seperti
tidak pernah memperhatikanku, tidak pernah melirikku. Bahkan pernah aku dan dia
berpapasan, tetapi melirikkupun tidak, atau bahkan tersenyum saja. Dia tidak
pernah melakukannya.
“Riny? Sayang kau tidak apa-apa kan?”Suara NIco
menyadarkanku dari lamunanku tentangnya.
“Nic, kamu kenapa sih?” Tanyaku penasaran
karena perubahan nico
“Aku gak apa-apa sayang. Eh malam ini aku akan
ke rumah kamu. Kita akan jalan-jalan. Bye sayang sampai ketemu disana yah! Oh iya jangan lupa
pakai pakaian yang indah yah!”
“Tapi nic.. haloo nic, nic, nico!!” Teleponya
terputus.
“Uh, padahal aku sangat kelelahan.”Aku berdecak
kesal karena memang saat ini aku benar-benar kelelahan. Tetapi yang sebenarnya
hatiku sangat senang diajak jalan-jalan oleh orang yang selama ini aku sukai. Memang
benar kata orang, fisik dan hati kadang memiliki jalan yang berbeda.
“hmn. +6290909090909..nomor aneh” Aku melirik
nomor yang dipaki Nico untuk menelponku.
Tanpa pikir panjang lagi, aku segera mencari
pakaianku yang paling indah menurutku
“Semoga ini juga indah di pandangan Nico”
Ucapku sambil melihat tubuhku yang berbalut kaos putih yang dilindugi
jacket blazer berwanna putih di depan
cermin yang ada di lemari bajuku, aku juga saat ini menggunakan jeans yang
berwarna putih dan tak ketinggalan jepitan rambut bermotif bunga aster putih
menghias kepalaku. Entah kenapa malam ini aku ingin sekali menggunakan pakaian
putih.
Dua puluh menit kemudian aku mendengar bunyi
bel rumahku. Segera aku turun dari kamarku yang terletak di lantai dua dan
membuka pintu.
“Riny sayang!!!”Ucap Nico sambil memelukku.
Yah, yang datang adalah Nico, orang yang selama ini terasa sangat sulit untuk
aku gapai, kini dia berada di dekatku dan……. Memelukku.
“Nico, kamu kenapa sih?”Ucapku aneh ketika
merasakkan pelukan Nico yang mengancang seperti seorang yang tak mau
kehilangan.
“Gak, aku gak apa-apa. Ayo!” Ucap Nico kemudian
mengandengku menuju sebuah mobil yang terparkir di depan rumahku.
Sungguh malam yang sangat indah buatku, Nico
mengajakku ke tempat-tempat yang aku sukai. Dia mengajakku makan di sebuah
restoran kesukaanku, mengajakku menonton sebuah film yang dari dulu aku selalu
memimpikan untuk menontonnya bersama pasanganku,. Dan kini aku menontonnya
bersama Nico, bersama dengan orang yang sangat aku kagumi, bersama dengan orang
yang sangat aku sukai, bersama dengan orang yang selalu menjadi penghias taman
mimpiku. Dia juga mengajak aku ke tempat-tempat yang lainnya seperti taman
bermain, pasar malam, dan yang lainnya. Dia juga membelikanku boneka beruang
berwarna putih, yang anehnya hanya ada satu di took boneka itu. Selain itu, dia
juga memberiku kalung hati yang sangat indah. Dia terus mengajakku berjalan-jalan
menuju tempat yang selalu aku impikan untuk aku kunjungi dengannya. Dan di
sepanjang perjalanan dia selalu menggandeng tanganku. Seperti tak mau lepas
dariku. Dan kemudian dia mengajakku ke sebuah bukit, yang dapat melihat
keindahan kota ini.
Aku dan dia kini berbaring berdampingan
memandang kearah langit yang pada malam ini sungguh indah karena dihiasi dengan
bintang yang begitu banyak. Nico mendekap tubuhku padanya dan memelukku erat,
membuatku sangat nyaman.
“Rin.”
“Yah Nic?”
“Aku sangat senang malam ini. Aku sangat senang
karena aku sekarang bisa bersama-sama dengan kamu.”
“Aku juga Nic. Malam ini adalah malam terindah
di dalam hidupku.” Aku mengencangkan pelukanku pada Nico
“Rin.”
“Yah Nic?” Aku menatapnya sehingga membuat
wajahku dan wajahnya sangat dekat.
“Aku… Sebenarnya aku sangat mencintaimu. Sudah
lama aku mengagumimu tetapi aku sangat takut untuk mengatakannya.”
DEG!!
Jantungku serasa
berhenti berdetak ketika mendengar perkataan dari Nico.
“Nic? Apa kau tidak
salah?”
“Tidak Rin! Aku
benar-benar mencintaimu”
“Nic kamu tidak
bercanda kan?”
“Tidak Rin, aku
sedang tidak bercanda. Aku mencintaimu Riny” Ucap Nico dengan mata yang begitu
sayu.
“Aku juga
mencintaimu Nico. Aku sangat mencintaimu” Ucapku yang mulai mengeluarkan air
mata bahagia, karena orang yang selama ini aku cintai diam-diam juga memiliki
perasaan yang sama denganku.
“Aku tak mau
kehilanganmu Rin!”Nico membelai pipiku dengan tangannya yang sangat lembut,
dari tatapannya dia separti merasakan takut.
“Aku mohon jagalah
dirimu Rin.” Ucap Nico, air matanya mulai jatuh.
“Nic, kau kenapa?
Memangnya kau ingin kemana?”Aku mulai khawatir melihat Nico yang terus saja
menangis sambil mengucapkan hal-hal aneh seolah dia ingin pergi dariku.
“Mungkin aku adalah
lelaki terbodoh di dunia ini, aku tak akan pernah mampu menjagamu lagi,
seandainya waktu dapat di putar, aku ingin mengulangnya dari awal. Bersamamu.”Nico
terus saja menangis sambil membelai pipiku dengan sangat lembut.
“Hiks..Nic..”Aku
berucap lirih mendengar kata-katanya.
“Apapun yang
terjadi. Kumohon jagalah dirimu Rin! Dan…. Apapun yang terjadi, berjanjilah
untuk terus tersenyum! Karena aku tidak suka melihatmu menagis.”Nico terus saja
mengatakan hal-hal yang membuat hatiku bertambah khawatir.
“Berjanjilah Padaku
Rin, bahwa kau akan terus tersenyum!” Ucap Nco sambil mengusap air mataku yang
sudah semakin deras.
“Nic. Kumohon
jangan tingalkan aku!.... hiks, hiks” Aku memeluknya dengan sangat erat. Sugguh
aku tak ingin kehilangan Nico. Aku tak ingin kehilangannya
“Berjanjilah
Rin!..” Ucap Nico membalas pelukannku.
“Hiks.. Aku.. Hiks…
Aku janji padamu..Aku janji untuk tidak menagis. Aku janji untuk terus menjaga
diriku..Hiks. Tapi..hiks…. Nico, kumohon… hiks jangan tinggalkan aku! Nico…
hiks… hiks ” Tangisanku pecah, aku benar-banar tak dapat membendung air mataku.
Aku takut kehilangan Nico. Nico mengangkat wajahku, dia kemudian mengusap
mataku. Kulihat wajahnya lebih damai dari yang sebelumnya.
“Aku… mencintaimu…
rin” Ucap nico dan kemudian kurasakan sentuhan lembut di bibirku. Sungguh
ciuman yang sangat tulus tanpa ada nafsu sama sekali. Nico mencium bibirku
dengan perasaan seolah-olah ini adalah ciuman terakhirnya. Sambil memeluku
dengan sangat erat Nico dan aku terus berpautan. Nico melepaskan ciumannya dari
bibirku. Tatapannya sangat sayu. Sementara aku masih saja terus mengucurkan air
mataku.
“Aku juga
mencintaimu Nic, aku sangat mencintaimu.”Aku memeluknya. Dan tanpa sadar aku
tertidur di pelukan Nico.
“Hmn….” Aku
terbangun, dan kulihat bukan lagi bukit tempat aku dan Nico berbaring. Aku kini
berada di kamarku, mungkin Nico yang mengantarkanku. Aku mengambil handphone
yang berada di samping bantalku dan melihat banyak sekali panggilan dan sms
yang masuk. Ketika hendak ingin mebukanya, handphone ku tiba-tiba mati.
“Uh, bateraynya
habis. Ah sudahlah..” Aku kemudian bergegas mandi karena kulirik jam sudah
menunjukkan pukul enam pagi.
Hari ini aku
benar-benar sangat senang. Rasanya aku ingin berteriak karena saking senangnya.
Kalian tahu kenapa?Yah, karena semalam. Karena hal-hal yang aku jalani dengan
Nico semalam. Aku sudah tidak sabar ingin melihatnya di sekolah. Aku sudah
tidak sabar melihat senyumannya. Pokoknya aku sangat senang hari ini.
Sesampainya aku di
sekolah, aku melihat teman-temanku di ruang kelas. Tapi tampaknya mereka sedang
menagis. Tunggu! Menagis?
“Teman-teman?
Kalian kenapa?”Ku hampiri mereka.
“Hiks… Rin… hiks
Riny…. Kau yang tabah yah Rin…. Hiks…. A.. aku tahu ini pasti berat bagimu….
hiks” Cindy, sahabat baikku langsung memelukku. Apa yang terjadi? Kenapa dia
begitu sedih?Kenapa?
“Ri..ii..iinn, hiks
kmu yang tabah yah.. hiks…hiks” Cindy dan yang lainya terus saja menagis
tersedu-sedu. Aku juga tak bisa menahan air mataku, entah kenapa air mataku
turun secara tiba-tiba.
“Hiks.. Cin… Cindy…
apa yang terjadi? Kenapa kalian begitu sedih?”
“Rin…. Nico… hiks…
Nico… dia” Cindy mengucapkannama Nico. Dan pada saat itu juga mataku sungguh
sangat panas, air mataku mengalir begitu kencang. Kenapa?Apa yang terjadi pada
Nico? Kenapa dadaku serasa sesak?Kenapa?
“Kenapa Cin!! Hiks…
katakan apa yang terjadi dengan Nico!!!
Hiks.Hiks.Hiks.”
“Nico… hiks Nico…
dia… me.. hiks hiks… dia meninggaaalll… Hiks Nico meniggal Rin..hiks”Badanku
tiba-tiba lemas. Aku terduduk di kursi yang berada di samping Cindy. Kali ini mataku
benar-benar terasa sangat panas. Tangisanku pecah…. Ini tidak mungkin
“TIDAAK…
HIKS..HIKS… CINDY KATAKAN KALAU INI SEMUA BOHONG!!! HIKS..HIKS.. KATAKAN KALAU
INI BOHONG!!! HIKS… HIKS, NICO. HIKS, SEMALAM AKU DAN DIA BERKENCAN… KATAKAN
KALAU KAU SEDANG BERCANDA!!! HIKS” Aku mengguncang tubuh Cindy sambil terus
menangis. Ini tak mungkin... kulihat ke arah Cindy. Dia menggeleng dan
tertunduk. Ini pasti bohong.. Nico
“Itu tak mungkin
Rin.. hiks… tak mungkin.. hiks… dia meninggal seminggu yang lalu… dia
kecelakaan ketika mencoba menyusulmu ke gunung… hiks, hiks, hiks… mana mungkin
kau dan dia berkencan semalam… hiks hiks.” Cindy memelukku yang saat ini terus
menangis
“Nic… hiks hiks…
Nico… Nico hiks.”
Ini tak mngkin
padahal… padahal Nico baru saja mengatakan perasaanya semalam… padahal aku baru
saja berada di dekatnya… padahal aku…. Hiks…. Aku………..
Kini aku berada di depan kuburan Nico… aku tak akan menyangka kalau
seandainya itu adalah malam terakhirku bersamanya… Tetapi aku tidak meneteskan
air mataku… karena aku sudah berjanji. Aku berjanji pada
nico bahwa ketika tiba hari ini, hari di mana nico sudah pergi. Aku tidak akan
menangis.
Nico, ku harap kau akan baik-baik saja di sana. Terima kasih atas
segalanya. Aku…… aku mencintaimu…. Nico……. And thanks for that night…….
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Normal POV
“Hmn… apa yang kau pikirkan?” Ucap sosok yang mengenakan jubah hitam,
dan di punggungnya terlihat sepasang sayap yang berwarna sama juga. Malaikat
“Tidak ada” Ucap sosok pemuda yang ditanyai oleh sang malaikat.
“Kalau begitu kita harus cepat. Kita telah kehilangan banyak waktu karena
permintaan terakhirmu itu.” Ucap sang malaikat
“Yah….”
“Nico, apa kau menyesal dengan permintaanmu?”
“Tidak… tidak sama sekali…. Aku malah ingin berterima kasih kepadamu…
karena telah mengijinkanku menemui Riny, sehari setelah aku meninggal” Ucap
Nico dengan senyuman yang sangat tulus.
“Hmn.. yah, sama-sama Nico… Tetapi kita harus segera pergi.”
“Baiklah.” Kemudian Malaikat itu memegang pundak Nico. Dan detik
berikutnya mereka terangkat ke langit. Meninggalkan tempat mereka tadi… tempat
dimana ada seorang Gadis perempuan yang sedang tersenyum sambil melelehkan air
mata di depan sebuah batu nisan yang bertuliskan NICOLAS STEWARD.
“Selamat tinggal RINY… Aku akan sangat merindukanmu… Aku akan terus
mencintaimu RIN…..” Itulah kalimat terakhir dari mulut Nico sebelum dia
benar-benar menghilang di langit dengan cahaya yang sangat
menyilaukan……………………………………………………..
END
Rionyx
Langganan:
Postingan (Atom)